Megawati dan Puan Maharani, Anak dan Cucu Soekarno Bahu Membahu di PDIP, sumber photo : kompas.com
Sial benar nasib Megawati dan Puan Maharani. Sudah tidak mendapat dukungan menjadi Capres atau Cawapres di masa lalu, hingga kemudian Megawati dengan mendengar hati rakyat memutuskan untuk menunjuk Jokowi menjadi Capres dari PDIP, lalu kemudian dari berbagai momentum politik masih disalahkan.
Saya mencoba tulisan ini untuk melihat dan mendudukkan pada porsi yang benar, agar logika kita tidak melompat-lompat, sehingga kita sendiri menjadi sulit untuk melihat, mana kebenaran sejati? Siapa yang jujur, siapa yang bersandiwara, siapa yang korban dan siapa juga yang menari-nari diatas kegaduhan politik ini.
Kita harus sadari, Parlemen saat ini adalah hasil dari pemilu 2014 yang mengutus 10 partai politik duduk di Senayan, dengan hasil tidak ada pemenang yang mayoritas. PDIP sebagai pemenang hanya memperoleh 18,9% suara di DPR. Tidak sampai 20 %, meskipun menyandang pemenang pemilu, lalu apa konsekwensinya? Tidak ada pemenang mayoritas tunggal, yang akibatnya adalah politik yang sangat cair dan dapat kita lihat hasilnya sekarang. Penguasa DPR dan MPR adalah Koalisi Merah Putih, koalisi yang kalah dalam Pilpres dengan motornya penggeraknya Prabowo Hatta, ARB, Amin Rais, Akbar Tanjung, Hidayat Nur Wahid, Surya Dharma Ali, dan Di back up SBY dari jalur Abu-abu.
Meskipun demokrasi di Negara kita sudah mulai berjalan, tetapi jika kita melihat hasil Pileg dan Pilpres, sesungguhnya kita belum dapat berbangga hati. Sebab, masyarakat dalam menentukan pilihannya belum dilandaskan oleh visi dan misi partai untuk menjalankan negara ini. Itu dapat terlihat dari hasil Pileg dan Pilpres.
Megawati telah mengumumkan Jokowi akan dicalonkan sebagai Presiden sebelum Pileg. Jika rakyat menginginkan Jokowi menjadi Presiden, mestinya rakyat memilih PDIP pada saat Pileg, agar PDIP dapat mengajukan Jokowi menjadi Presiden. Tetapi sepertinya logika itu belum bisa berlaku di Indonesia. Banyak faktor mengapa hal itu tidak terjadi, di masa yang lalu penelitian telah banyak dilakukan untuk mengungkap fenomena itu, di antaranya adalah banyaknya praktek uang dalam Pileg dan juga faktor ketokohan Caleg yang diusung oleh parpol pengusung serta adanya faktor kedaerahan.
Jika demikian halnya maka kita perlu mempersiapkan diri kita untuk menerima segala bentuk konsekwensi politik, termasuk apa yang terjadi saat ini di Parlemen dan MPR, dimana PDIP sebagai pemenang pemilu tidak mendapatkan jatah kepemimpinan di DPR/MPR, terlepas dari UU MD3 yang di revisi di menit-menit terakhir masa DPR yang lalu dengan maksud dan tujuan untuk merebut kekuasaan di DPR/MPR.
Pertarungan politik yang begitu rupa ini juga dijadikan sebagai ajang untuk membunuh karakter lawan politik, terutama digunakan sebagai balas dendam politik, yang tujuannya adalah merebut panggung politik. Akibatnya kita mendapatkan seseorang menjadi pahlawan dan tentunya seseorang menjadi pecundang, pesakitan.
Saya tertarik menulis tema ini, sebab saya ingin juga memberikan pandangan, paling tidak dari segi opini saya berpikir bahwa ada yang tidak seharusnya menjadi korban, pesakitan dalam proses ini agar orang-orang atau tokoh-tokoh politik yang kotor tidak menjadi pahlawan, lalu tokoh politik yang jujur dan punya karakter menjadi pesakitan.
Megawati adalah musuh bagi politisi pragmatis.
SBY adalah salah satu diantara begitu banyak yang menyalahkan Megawati, karena Megawati tidak mau bertemu dengan SBY untuk deal-deal politik. SBY sudah 10 tahun menunggu moment untuk bertemu dengan Megawati secara hati ke hati, meskipun beberapa kali ada pertemuan, tetapi itu bukan dalam konteks pertemuan mereka berdua secara individu maupun secara partai.