Ini belum ditambah dengan masalah pandemi COVID-19 yang mengharuskan Agus untuk menutup kelas dan vakum sejenak dari dunia mengajar. Agus mengaku sangat kecewa dengan keadaan itu. Sebab, karena kelasnya itu Agus tidak hanya mendapatkan kepuasan dari mengajar, tetapi juga dapat mengundang mahasiswa dan seniman lukis dari berbagai daerah.
Ia bercerita, banyak dari mahasiswa yang datang ke kelasnya itu untuk melakukan penelitian-penelitian humaniora, utamanya tentang isu disabilitas dan ruang berkesenian. Sedangkan, para seniman lukis sering datang ke tempat Agus untuk sekadar melihat karyanya, berdikusi, atau bahkan minta belajar lukis dengan Agus.
Nasi sudah menjadi bubur. Tidak ada cara untuk memutar ulang waktu dan keadaan seperti sedia kala. Namun, persis seperti janjinya, Agus tetap akan membuka kelas dan galeri kecilnya itu, berapa pun banyak muridnya, serta akan tetap selalu membantu siapapun yang ingin belajar dan juga berdiskusi tentang kesenian.
Perjuangan dan dedikasi Agus terhadap seni di tengah keterbatasannya adalah teladan bagi kita semua. Agus adalah saksi dari bagaimana keterbatasan bisa menjadi berkah bagi sesama. Maka dari itu, kita harus semakin mampu merangkul dan menerima keehadiran mereka, agar mereka dapat semakin untuk berdaya dan berkarya di tengah keterbatasannya.
Daftar Pustaka:
Auditya. (2021, Desember 6). Ableisme dan Diskriminasi terhadap Penyandang Disabilitas. pshk.or.id. Diakses tanggal 25 November 2022.
AMFPA. (2023). About AMFPA. vdmfk.com. Diakses tanggal 25 November 2022.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H