Siapa yang menyangka, bahwa fenomena quarter life crisis sudah menjadi perhatian masyarakat Jawa sejak dahulu kala.
Bagi kita kaum generasi milenial dan Z yang saat ini berada di dalam fase hidup quarter life crisis, rasanya menyaksikan berbagai tayangan video psikologi di media sosial, membaca buku tentang self-improvement, mengikuti seminar karier, dan bahkan berkonsultasi dengan psikolog atau profesional dalam dunia kerja adalah suatu fenomena sosio-psikologi yang terbilang sangat lumrah untuk dapat kita temukan dan lihat saat ini.
Dalam dunia psikologi perkembangan, usia quarter life crisis biasanya adalah mereka yang saat ini baru saja menginjak usia dewasa atau sedang menuju pada proses untuk dapat dikatakan sebagai dewasa.
Ada begitu banyak buku dan jurnal ilmiah yang dapat menjelaskan fenomena sosio-psikologi ini. Namun, apakah pembaca mengetahui, bahwa ternyata konsep quarter life crisis itu sudah dirumuskan oleh masyarakat Jawa sejak ratusan atau mungkin ribuan tahun lalu?
Dalam artikel kali ini, penulis akan berusaha memberikan suatu ulasan kepada pembaca mengenai pemaknaan dan pemahaman akan perkembangan usia dalam falsafah masyarakat Jawa.
Artikel ini juga akan menggunakan pemahaman dan sudut pandang dari kacamata psikologi perkembangan untuk semkain mendetilkan dan memberi ruang pemahamaan saintifik yang cukup besar bagi pembaca dalam memahami maksud dari isi artikel ini.
Sebelum masuk ke pembahasan inti mengenai kaitan antara konsep quarter life crisis dalam pemahaman falsafah Jawa dengan pemahaman soal psikologi perkembangan manusia, sepertinya aakan sangat baik jika kita masuk serta mengetahui terlebih dahulu mengenai apa yang dimaksud dengan pertumbuhan, kematangan, perkembangan, dewasa, dan kondisi-kondisi apa saja yang sekiranya lumrah untuk dirasakan oleh orang yang akan beranjak dewasa.
Menurut Yudrik (2011), kematangan (maturity) adalah suatu keadaan yang berkaitan dengan perubahan bentuk struktur dan fungsi yang lengkap pada suatu organisasi, di mana kematangan akan dapat membentuk sifat dan kekuatan tertentu bagi seseorang untuk mampu menciptakan pola tingkah laku tertentu, baik tingkah laku yang berdasarkan insting atau tingkah laku yang dipelajari dan dibentuk untuk dapat menghadapi suatu masalah.
Dalam mencapai kematangan, perkembangan dan pertumbuhan adalah dua hal yang memungkinkan kematangan itu dapat terwujud.
Menurut L. Crow dan A. Crow dalam Yudrik (2011), pertumbuhan menyiratkan adanya perubahan struktural dan fisiologis pada tubuh manusia. Sedangkan, perkembangan adalah bertambahnya kecakapan dari adanya pertumbuhan struktur dan fungsi tubuh itu sendiri serta akan berjalan terus sampai akhir hayat.
Tidak seperti halnya perkembangan yang bersifat terus meneurs, pertumbuhan manusia akan selalu terhenti saat mencapai tahap dewasa dan akan menurun fungsi-fungsi fisiologisnya di kala tua.
Meski secara implisit perkembangan dan pertumbuhan berbeda, namun kedua elemen ini adalah bagian dari hidup manusia yang tidak saling terpisah dan memungkinkan bagaimana manusia mampu mencapai apa yang disebut sebagai kematangan atau dewasa.
Menurut Indrianie (2020), quarter life crisis menyirtakan adanya pertumbuhan fisiologis, utamanya adalah otak yang kemudian memampukan manusia untuk memiliki bentuk perkembangan dalam hidup mereka, seperti menentukan sikap, menentukan pilihan hidup, menentukan pekerjaan, menentukan pasangan hidup, dan lainnya. Sehingga, bisa disimpulkan jika pertumbuhan dan perkembangan dua hal yang tidak dapat terpisahkan dalam kedewasaan.
Dalam pertumbuhan dan perkembangannya, fenomena quarter life crisis terjadi di usia-usia yang dapat disebut sebagai dewasa. Menurut Yudrik (2011), dewasa adalah suatu kondisi di mana manusia mencapai kematangan organisme yang memampukan mereka untuk menentukan berbagai keputusan penting dan esensial. Masa dewasa secara psikologi dimulai dari usia 18 tahun hingga kira-kira usia 40 tahun atau masa paling matang secara fisik dan psikologis.
Dalam perkembangan hidup orang dewasa, Hurlock (1999) menjelaskan bahwa masa dewasa dibagi ke dalam tiga bagian besar, yakni:
1). Masa Dewasa Awal (Young adult)
Masa dewasa yang identik dengan pencarian akan kemantapan jati diri; masalah dan ketengangan emosional; isolasi sosial; pembuatan komitmen dan ketergantungan; perubahan nilai hidup; ledakan kreativitas dan penyesuaian terhadap pola hidup baru. Masa dewasa awal kebanyakan terjadi di sekitaran usia mulai dari 21 sampai 40 tahun.
2). Masa Dewasa Madya (Middle adulthood)
Masa dewasa yang identik dengan masa transisi, di mana pria maupun perempuan meninggalkan ciri-ciri jasmani dan dewasa mereka untuk memasuki periode jasmani dan dewasa yang baru.
Selain itu, masa dewasa madya juga ditandai dengan adanya perhatian dan kebutuhan terhadap agama yang jauh lebih besar dari sebelumnya, baik secara pribadi maupun sosial. Masa dewasa madya berlaku di usia antara 40 sampai 60 tahun.
3). Masa Dewasa Lanjut (Older adult)
Masa dewasa yang terakhir berkaitan dengan masa penutup dalam rentang hidup seseorang. Dalam banyak kesempatan, masa dewasa ini sering dikenal sebagai masa manula atau lansia.
Masa dewasa ini dimulai dari umur 60 tahun sampai tutup usia, di mana adanya perubahan fisik dan psikologis yang semakin menurun, seperti perubahan motorik, emosional, saraf, dan penampilan.
Dari ketiga bagian masa dewasa menurut Hurlock (1999), fase hidup quarter life crisis terjadi di fase dewasa awal (young adult). Menurut Indrianie (2020), quarter life crisis terjadi direntang usia 20-an menuju usia 30-an awal.
Hal ini senada dengan pendapat Kim (2020), bahwa usia 20-an selalu diwarnai dengan gejolak emosi dan adanya kebimbangan dalam menentukan keputusan-keputusan penting dalam hidup, seperti jodoh, karir, keuangan, ekspektasi sosial dan lainnya.
Dalam perspektif masyarakat Jawa, fase quarter life crisis mewujud dalam tata cara penyebutan angka usia, di mana filosofi ini berdasarkan analisis penulis memiliki kaitan yang cukup erat dengan konsep dasar dari tahapan perkembangan dewasa awal yang dirumuskan oleh Hurlock (1999).
Menurut Setyaningrum (2022), masyarakat Jawa memiliki keunikan dalam menyebut angka-angka tertentu, seperti selikur (21); selawe (25); seket (50); dan sewidak (60).
Dalam menyebutkan angka dengan kelipatan dua puluh misalnya, masyarakat Jawa tidak menyebutnya sebagai dua puluh satu (rong puluh siji) atau dua puluh lima (rong puluh lima).
Namun, masyarakat Jawa menyebut angka-angka berkelipatan dua puluh tersebut dengan sebutan likur. Sebagai contoh, 21 disebut sebagai selikur, 22 disebut rong likur, dan seterusnya. Khusus untuk angka 25, masyarakat Jawa menyebutnya sebagai selawe.
Menurut Setyaningrum (2022), penggunaan kata likur bagi angka 21 hingga 29 (kecuali 25) merujuk pada istilah "linggih kursi" atau "duduk di kursi". Istilah ini muncul untuk menggambarkan suatu kondisi sosio-psikologi yang banyak dialami oleh anak-anak muda yang sedang beranjak dewasa, di mana mereka diharapkan masyarakat sudah duduk di 'kursi', yang merupakan profesi mereka dan tekun bekerja untuk memenuhi kebutuhan hidupnya.
Likur juga dapat diartikan sebagai fase untuk berpikir, berefleksi, memutuskan, dan menimbang-nimbang lebih banyak hal penting yang perlu dipersiapkan serta direncanakan dalam menjalani kehidupan di fase-fase kedewasaan berikutnya.
Sedangkan, selawe dipahami sebagai "seneng-senenge lanang lan wedok," atau memiliki makna perempuan dan laki-laki mencapai puncak asmara serta memiliki rencana untuk menikah dan mulai membangun keluarga.
Pemahaman masyarakat Jawa mengenai konsep likur dan selawe berdasarkan penjelasan tadi nampaknya selaras dengan apa yang dijelaskan oleh Hurlock (1999) dalam melihat perkembangan manusia ketika memasuki masa dewasa awal (young adult), di mana ada begitu banyak perubahan fundamental yang meliputi emosi, fisik, sosial, mental, dan lainnya, yang akhirnya berpengaruh pada cara mereka menyikapi berbagai permasalahan.
Di fase usia ini juga (quarter life crisis), minat dan ketertarikan untuk mulai membangun diri serta mempersiapkan berbagai hal penting acap kali ditemukan oleh mereka yang saat ini sedang bimbang dengan berbagai keputusan yang harus diambil, seperti mencari tips melamar kerja, mempersiapkan pendidikan tingkat lanjut, datang ke psikolog untuk konsultasi, mulai memikirkan keluarga atau merawat lingkaran pertemanan untuk membuat support system (Kim, 2020).
Sedangkan, bagi fase dewasa lainnya yang saat ini berada di usia 50 tahun (masa dewasa madya) dan di usia 60 tahun ke atas (masa dewasa lanjut), masyarakat Jawa juga memiliki filosofi yang tak kalah menarik untuk menjelaskan kedua konsep dan pemahaman terhadap kedua umur tersebut. Menurut Setyaningrum (2022), seket atau 50 merujuk pada istilah "seneng kethunan" yang memiliki makna penutup kepala.
Maksud dari penutup kepala merujuk pada aksesoris yang digunakan oleh orang tua Jawa di zaman dahulu yang biasanya digunakan untuk beribadat, serta mereka yang suka mengenakan penutup kepala identik dengan mereka yang suka beribadah untuk mendekatkan diri pada Tuhan.
Pernyataan ini selaras dengan penjelasan Hurlock (1999), bahwa masa dewasa madya indentik dengan pola perilaku hidup yang jauh lebih religius dari sebelumnya.
Meski tidak ada penjelasan yang detil mengenai adanya alasan dibalik bertambah religiusnya seseorang ketika memasuki masa dewasa madya, namun, jika kembali merujuk pada pemahaman Hurlock (1999) perubahan ini ada karena murni faktor psikologis yang membuat orang-orang di masa dewasa madya berusaha lebih mendekatkan diri pada berbagai hal yang dirasa lebih mampu memenuhi kebutuhan batin mereka, yakni lewat beribadah.
Sedangkan, istilah sewidak atau 60 merujuk pada "sejatine wis wayahe tindak" atau jika diartikan ke dalam bahasa Indonesia menjadi "sejatinya sudah waktunya untuk pergi (meninggal)".
Umur 60 tahun baik dalam filsafat Jawa maupun psikologi perkembangan Hurlock sama-sama menjelaskan bahwa usia 60 tahun ke atas memang ditandai sebagai usia kemunduran dalam banyak segi, baik segi fisiologis, mental, emosional, dan bahkan motorik.
Hal ini juga lah yang mungkin menyebabkan munculnya pemahaman, baik di masyarakat Jawa maupun di dalam perspektif psikologi perkembangan bahwa usia 60 tahun ke atas dianggap sebagai waktu untuk berjaga-jaga, sebab umur 60 tahun memang kerap kali digambarkan sebagai umur yang banyak diliputi oleh berbagai macam penyakit, menurunnya fungsi tubuh, menurunnya fungsi imunitas tubuh, dan berbagai hal lain yang berkenaan dengan kondisi fisiologis.
Pada akhirnya, kita bisa menyimpulkan bahwa quarter life crisis adalah suatu hal yang sejatinya sudah terjadi sejak lama. Hal ini dapat dibuktikan dengan adanya kaitan antara falsafah Jawa dalam memaknai perkembangan umur yang secara saintifik dapat dipahami secara jauh lebih detil lewat ilmu psikologi perkembangan. Dengan begitu, kita dapat menyadari bahwa pemikiran orang Nusantara atau Jawa dalam konteks ini sejatinya sudah melampaui zamannya.
Hal ini di satu sisi juga menyiratkan bahwa mungkin saja ada berbagai aliran filsafat lokal lainnya yang dapat dipelajari dan mampu menjelaskan berbagai fenomena sosial modern yang sejatinya adalah fenomena yang berulang di masa lalu.
Maka dari itu, ada baiknya jika sekarang kita mulai menaruh perhatian lebih besar terhadap kekayaan intelektual bangsa kita sendiri, salah satunya filsafat. Sehingga, kita mampu menyadari bahwa bangsa Indonesia juga merupakan bangsa pemikir yang telah melampaui zamannya.
Daftar Pustaka:
Yudrik, J. (2011). Psikologi Perkembangan. Jakarta. Prenadamedia Group.
Kim, J. 2020. Hidup Antigalau Menata Karir dan Masa Depan di Umur 20-an. Jakarta. Gramedia Pustaka Utama
Indrianie, E. 2020. Survive Menghadapi Quarter Life Crisis. Yogyakarta. Brilliant
Hurlock, E. (1999). Psikologis Perkembangan. Jakarta: Erlangga.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H