Feel Koplo membuat dan memakai tagar #awasdangdut sebagai alat kampanye mereka di media sosial untuk memperkenalkan dan mempromosikan bentuk serta cara yang lebih kekinian dan edgy dalam menikmati musik "dangdut koplo". Fenomena ini juga menghasilkan terciptanya integrasi baru, terkhususnya integrasi sosial di tengah-tengah pergaulan anak muda pecinta musik elektro dan dunia malam, terkhususnya di kota Bandung kota kelahiran Feel Koplo.
Integrasi sosial awalnya terjadi lewat interaksi kalangan anak-anak muda Bandung, soal kehadiran duo DJ new comers yang memainkan lagu dangdut bernuansa elektro sebagai maintracklist mereka. Secara kognitif, anak-anak muda kota yang tadinya mungkin "anti dengan musik dangdut" karena dicap sebagai musik kalangan bawah pada akhirnya mulai menganggap dan perlahan menerima musik dangdut dengan sentuhan elektro sebagai sesuatu yang catchy dan cheesy, bukan sesuatu yang ketinggalan zaman (West & Turner, 2007 dan Weintraub, 2013).
Menurut Elliza (2019), kehadiran Feel Koplo dengan remix dangdut elektronya itu semakin meramaikan interaksi sosial anak-anak muda soal lahirnya selera musik kekinian yang asik lewat berbagai media sosial, utamanya Instagram dan Youtube. Ramainya interaksi sosial di di berbagai platform media sosial, di satu sisi juga semakin menandakan bahwa ada rasa puas dan motivasi untuk semakin mencintai produk musik lokal. Hal ini senada dengan pendapat Rere, personil band SKA asal Bandung bernama SKABEYES.Â
"Di bandung sendiri teh ada banyak anak Jakarta jeung Bandung yang suka sama lagu edm dan hiphop. Tapi anehnya, waktu Feel Koplo manggung di daerah Dago mereka malah ngapresiasi banget. Menurut aing sih, Feel Koplo geus mengubah stigma orang soal dangdut, terutama koplo yang katanya kan kampung, norak dan lainnya itu. Tapi sekarang loba sing seneng sama koplo", imbuh Rere.
Menurut West & Turner (2007:428-430), motif afektif dan melepaskan tegangan bagi anak-anak muda tercapai ketika mengkonsumsi lagu-lagu Feel Koplo karena musik dangdut koplo ternyata lebih relevan dengan konteks pengalaman konsumsi musik mereka di masa lalu yang dibawakan pada masa yang berbeda serta cara yang berbeda dalam menikmatinya. Sehingga ketika mereka mendengarkan lagu Feel Koplo, mereka merasa memiliki pengalaman atas musik tersebut dan berhasil hanyut dengan alunan musik.
Alienasi dalam Dangdut KoploÂ
Dangdut koplo sebagai genre musik akan selalu berkolerasi dengan para penikmat musiknya. Namun, dalam banyak kasus, para penikmat musik dangdut koplo kerap dicap sebagai orang "kampungan" dan sering dipisahkan dari masyarakat umum. Stereotipe ini bisa muncul karena dalam setiap pertunjukan dangdut koplo, biduan atau perempuan pemandu musik dangdut selalu dikambinghitamkan sebagai agen perusak dari citra musik dangdut koplo.Â
Pemikiran ini muncul karena biduan selalu ditempatkan dan dikosepkan sebagai "penghibur", yang mana pertunjukan biduan sendiri dalam dangdut seringkali ditampilkan secara seronok dan tidak sesuai dengan representasi dangdut yang penuh dengan nilai filosofis, budaya, hiburan rakyat, gotong royong, dan sukacita (Raditya, 2013). Sehingga, pada akhirnya dangdut koplo sering dicap "kampungan" oleh banyak pihak. Fenomena pengecapan ini dapat disebut juga sebagai alienasi.
Alienasi sendiri dalam teori konsumsi adalah pembentukan paham dalam produksi bahwa manusia belum memiliki identitas dalam diri mereka (jati diri) sehingga mereka "di paksa" untuk menemukan jati diri mereka lewat produk-produk yang harus mereka konsumsi (Marx dalam Storey, 2007:144)
Dalam wawancara yang dilakukan dengan narasumber, alineasi justru terjadi karena setiap orang punya ideologi mereka masing-masing dan ideologi mereka dapat tersalurkan lewat konsumsi produk yang memang relevan dalam perjalanan petualangan jati dirinya. Secara tidak langsung, ketika kita mengkonsumsi suatu produk, kita akan saling terkotakan satu sama lain karena ada perbedaan selera yang mengakibatkan adanya perbedaan sudut pandang dalam memahami dan merefleksikan suatu sisi realitas penemuan akan makna diri dan jati diri.