Saya dinyatakan lulus SMA tahun 2014. Memang sebuah kalimat yang tidak mengandung informasi substansial bagi bangsa ini. Namun, siswa yang lulus SMA angkatan 2014 adalah mereka yang ikut serta dalam "kerasnya" sistem pendidikan Indonesia. Mengapa demikian? Akan saya jabarkan secara gamblang di bawah ini.
Apabila mereka lulus SMA tahun 2014, berarti lulus SD nya adalah tahun 2008. Peserta didik sekolah dasar pada tahun itu pertama kali merasakan yang namanya Ujian Akhir Sekolah Berstandar Nasional atau UASBN.Â
Indikator kelulusan peserta didik terletak pada lulus atau tidaknya mata pelajaran yang diujikan dalam UASBN. Saya ingat, mata pelajaran yang diujikan adalah IPA, Matematika, dan Bahasa Indonesia. Apabila salah satu pelajaran saja tidak lulus, maka anak itu otomatis dinyatakan tidak lulus sekolah dasar.
Kemudian pada ujian nasional SMP, tahun ajaran 2011. Pada saat itu memang SMP sudah mengadakan UN, namun baru kali itu ujian nasional dibedakan menjadi 20 paket.Â
Masalah terjadi karena acuan pembelajaran UN saat itu menjadi bias, sehingga peserta didik dikebut untuk mengerjakan segala macam jenis lembar kerja siswa (LKS) dan modul-modul pembelajaran UN. Peserta didik cenderung dikejar oleh materi. Poin ini patut kita garis bawahi, karena akan kita bahas selanjutnya.
Setelah sekolah menengah pertama, dilanjutkan dengan jenjang sekolah menengah atas atau SMA. Masa SMA yang begitu indah, diakhiri dengan ujian nasional (UN) yang sama sekali tidak diduga. Mengapa?Â
Karena soal-soal yang dikeluarkan dalam UN tahun 2014 banyak yang tidak sesuai dengan kisi-kisi yang beredar saat itu. Saat itu, dikatakan bahwa standar UN SMA 2014 memiliki standar yang sama dengan olimpiade.Â
Hal ini tentu saja membuat peserta UN SMA 2014 kaget, dan kemudian nilai rata-ratanya turun (Harahap, 2014). Bahkan, apabila satu nilai tidak lulus, maka semua rangkaian UN yang telah dilaksanakan dinyatakan tidak lulus.
Sistem ujian negara dinilai kurang memenuhi fundamental dari pendidikan. Kemampuan berpikir peserta didik hanya dinilai dari daya serap materi yang di konversi indikatornya menjadi nilai-nilai diatas kertas.Â
Bahkan praktik itu dimulai sejak dari sekolah dasar. Menurut Menteri Pendidikan dan Kebudayaan era Kabinet Kerja 2014-2019, yang sekarang menjabat Menteri Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan, Prof. Dr. Muhajir Effendy, S.Pd., M.A.P. mengatakan bahwa di tingkat sekolah dasar, sebenarnya harus didominasi pendidikan karakter dan budi pekerti daripada materi ajar kurikulum, yaitu memiliki persentase 70 persen, kemudian turun di tingkat SMP yaitu sebesar 60 persen (Ratnasari, 2016).
Tingginya proporsi pendidikan karakter dan budi pekerti pada tingkat sekolah dasar itu bukannya tanpa sebab. Anak usia SD, yang berada di rentang usia 7 sampai 13 tahun harus dibina untuk mempersiapkan masa remajanya.Â