Setiap organisasi atau lembaga senantiasa memiliki visi dan misinya masing-masing. Sebagai sebuah lembaga pendidikan, setiap sekolah juga hendaknya memiliki visi-misi tersebut.
Sebelum era KTSP (Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan)tahun 2006, banyak sekolah tidak secara jelas memilikinya,meskipun ia menjadi bagian yang paling esensial dalam kehidupan sekolah. Baru sejak era KTSP tiga tahun lalu, di mana sekolah wajib menuliskan apa yang menjadi visi-misi sekolahnya, visi-misi menjadi “barang antik” yang mulai menarik perhatian segenap pimpinan sekolah.
Begitu banyak sekolah mulai berburu cara, bagaimana mempunyai visi-misi. Ada sekolah yang membuatnya dengan “serius” dan menggarapnya dengan seksama, sebagian lagi sekedar memenuhi tuntutan formalitas, sekedar ada tulisan visi-misi di dalam dokumen KTSP-nya. Beberapa sekolah hanya melakukan “copy-paste” dari contoh yang diberikan pemerintah atau sekolah lain. Tentu amat disayangkan, apabila proses yang disebut belakangan itu justru terjadi dalam lembaga pendidikan. Berapa banyak sekolah yang melakukan seperti itu, tidak pernah ada angka pasti yang menunjukkan jumlah itu.
Visi merupakan “potret” atau “gambaran” yang ingin dicapai organisasi tersebut pada masa mendatang. Gambaran itu bersifat ideal. Ia laksana sebuah impian. Ia menjadi kompas bagi sekolah tersebut. Ia menjadi inspirasi yang menggerakkan seluruh roda organisasi.
Berbeda dengan visi, misi sekolah merupakan pilihan cara yang tepat sehingga mampu mengantar sekolah mencapai atau mendekati “potret” dan “impian” yang dicita-citakan tersebut. Kalau pernyataan visi sekolah terkesan bersifat “pasif”, sebaliknya misi sekolah lebih bersifat “aktif” dalam pernyataannya, dengan memperhatikan unsur perilaku, kebiasaan, dan karakter sekolah yang bersangkutan.
Efektifitas sebuah visi-misi
Meskipun visi-misi menjadi unsur yang penting dalam suatu organisasi, termasuk sekolah di dalamnya, namun dalam kenyataannya visi-misi, tidak jarang, hanya sekedar “kumpulan kata-kata indah” yang terpajang dalam pigura nan indah di kantor kepala sekolah atau yayasan sekolah. Ia hanya dimanfaatkan dalam urusan administratif, seperti supervise atau akreditasi sekolah, tanpa pernah menyentuh lapisan terpenting sekolah, menjadi pemantik api dan guideline bagi sekolah tersebut.
Visi-misi yang demikian itu, jelas tidak efektif. Ia tidak mampu menjadi daya pendorong segenap anggota komunitas untuk maju. Ia kurang mampu memberi energi bagi setiap elemen di dalam sekolah tersebut.
Bagaimana ukuran efektifitas sebuah visi-misi? Dalam arti, sejauhmana ia sungguh memberi daya dan energi bagi setiap anggota komunitas organisasi atau lembaga meraih apa yang dicita-citakan bersama?
Visi-misi sekolah yang “baik” atau efektif tidak pernah lepas dari nilai-nilai yang ingin dihidupi oleh segenap komunitas, misalnya kerajinan, kejujuran, keadilan, keunggulan, kerjasama, persahabatan, dsb. Ia juga tidak bisa lepas dari mitos, asumsi, dan kepercayaan yang dimiliki oleh lembaga atau sekolah tersebut.
Dalam sebuah bukunya, berjudul Leading Change, Kotter, J. (1996), mengisyaratkan beberapa hal tentang bagaimana sebaiknya visi-misi (efektif) sebuah organisasi dibuat.
Pertama, visi harus bisa bersifat imaginable. Ia harus mampu memberikan gambaran atau potret atas masa depan yang akan mereka “raih”. Kedua, visi harus bersifat desirable dan inspirable. Ia juga merangsang dan memberikan daya tarik (untuk mencapainya) kepada setiap pemangku kepentingan organisasi itu.
Ketiga, ia bersifat feasible. Di mana, meski merupakan sebuah impian, bersifat realistik, dan memberikan peluang mencapainya. Keempat, ia mempunyai focused yang jelas. Ia memberikan panduan yang cukup jelas dalam pengambilan keputusan dalam organisasi tersebut.
Kelima, visi juga mesti bersifat flexible. Ia adalah kompas bagi organisasi, ia tidak boleh menjadi spesifik, sehingga tidak memungkinkan terakomodasinya peran individual dan tidak mampu menjembatani perubahan kondisi masyarakat sekelilingnya. Dan terakhir, ia harus bersifat communicable. Artinya, visi itu cukup sederhana, tidak terlalu panjang, dan mudah diingat, sehingga mudah dikomunikasikan dan dijelaskan kepada segenap pemangku kepentingan lembaga tersebut.
Lebih jauh dari itu, Kotter juga memberikan catatan bagaimana misi yang efektif dikembangkan. Misi yang efektif akan menggambarkan secara jelas eksistensi organisasi serta apa yang akan dilakukan organisasi itu ke depan, untuk menjamin pencapaian tujuan organisasi tersebut.
Tiga pertanyaan sederhana yang dilontarkan Kotter, dapat dipergunakan untuk membantu organisasi mendesain misinya. Pertanyaan itu meliputi (a). apa yang akan dilakukan organisasi tersebut?, (b). bagaimana mengukur keberhasilan yang akan dicapainya?, serta (c). apa yang akan dilakukan untuk menjamin keberhasilan yang diingankan tersebut?
Dalam konteks sekolah, misalnya, dapat diberikan sebuah contoh sebagai berikut. Sebuah sekolah milik pemerintah daerah, misalnya “SMA Pelita”, merumuskan misinya “ Sebagai sekolah daerah, ingin menciptakan dan memelihara sebuah lingkungan di mana memungkinkan setiap anggota komunitas sekolah meraih prestasi belajar yang optimal sebagaimana ditentukan oleh pemerintah dan sekolah. Sekolah menyelenggarakan sebuah sistem yang komprehensif untuk menjamin tercapainnya tujuan tersebut”.
Menurut Kotter, pernyataan misi ini efektif karena setidaknya menjawab ketiga pertanyaan di atas. Apa yang dilakukan jelas, yakni “menciptakan dan memelihara lingkungan yang kondusif, sehingga setiap anggota komunitas mencapai hasil akademik yang optimal”. Untuk mengukurnya, dipergunakanlah “standar pemerintah dan sekolah”.Untuk menjamin tujuan tersebut tercapai, perlu diciptakan “sistem (organisasi) yang komprehensif” di dalamnya.
Menerjemahkan visi-misi
Sebuah visi-misi yang “baik” tidak hanya berhenti dalam tataran teoritis. Ia tidak cukup hanya menjadi hiasan dan kaligrafi eksotik yang tertampang di ruang kepala sekolah, persis di bawah jam diinding misalnya.
Visi-misi itu, perlu dijabarkan secara jeli, tajam dan konkrit dalam berbagai bentuk kegiatan sekolah. Ia mendasari segala bentuk kegiatan yang dilakukan dan dijalankan oleh sekolah tersebut. Starratt (1995), menggambarkan sekolah sebagai sebuah institusi dengan lapisan bawangnya (onion with several layers).
Gambaran analogikal ini menarik, sekolah, ibarat sebuah “bawang” (onion), mempunyai lapisan-lapisan dari yang terluar sampai terdalam. Bagi Starratt, lapisan terluar adalah lapisan yang sangat kasat mata, mudah sekali dilihat dan dipahami, di dalam sekolah. Semakin ke dalam, lapisan itu semakin kecil, semakin tidak kasat mata, namun semakin penting artinya. Ibarat kayu sebuah pohon , ia adalah “galih” batang kayu tersebut.
Lapisan terdalam sebuah sekolah biasanya adalah mitos (myth) atau inti sekolah. Ia merupakan assumsi-asumsi dasar, filosofi sekolah, biasanya pemilik sekolah atauthe founding fathers (mothers) sekolah tersebut. Bagaimana mereka memandang kehidupan, manusia, pemahaman tentang moralitas, religiusitas, dan kehidupan sosial masyarakat, serta alam semesta. Lapisan ini sangat abstrak dan biasanya tidak sedimikian eksplisit dalam mengukurnya.
Lapisan berikutnya adalah kepercayaan (beliefs), nilai-nilai (values), dan asumsi-asumsi (assumptions). Ketiganya menjadi fondasi dan landasan bagaimana visi, misi, dan tujuan sekolah dibangun. Mereka itu yang menggerakkan dan menghidupkan organisasi atau sekolah. Keberadaannya biasannya relative tetap dan tidak mudah berubah atau luntur oleh waktu dan perubahan jaman. Inilah yang sesungguhnya merupakan karakter dan budaya dari sekolah sebagai sebuah organisasi.
Semakin keluar kita sampai pada lapisan dimana tujuan (goal) dan maksud (purpose) pembelajaran sekolah dirumuskan. Tujuan dan maksud keberadaan sekolah dirumuskan mulai yang sifatnya umum sampai lebih spesifik, atau tujuan jangka panjang sampai jangka pendeknya.
Efektifitas sebuah goal atau tujuan sekolah, biasanya dinilai dengan seberapa SMART atau tidaknya tujuan itu. Maksudnya, sejauhmana (S)-pesific dan strategic-nya tujuan itu, sifatnya (M)-easurable atau tidak. (A)-ttainable atau tidak, sekedar asumsi tidak berdasar atau berdasar data masa lalu yang dimiliki. (R)-esult oriented atau hanya melihat proses tanpa target yang jelas. Dan bagaimana soal (T)-ime bound atau batas waktu yang jelas untuk mencapai hal tersebut. Misalnya, “sekolah akan menaikkan pencapaian nilai rata-rata hasil UN sebesar 20% pada tahun ajaran 2008-2009” merupakan tujuan yang efektif karena memenuhi unsur SMART di atas.
Lapisan bawang keempat adalah kebijakan (policies) sekolah. Lapisan ini biasanya berbicara tentang, misalnya, bagaimana kebijakan soal penerimaan siswa baru, mengapreasiasi siswa, dan menerapkan kedisiplinan siswa kepada para siswa. Juga, mengatur bagaimana kebijakan soal penerimaan-pemberhentian guru atau karyawan, atau bagaimana melibatkan guru, siswa, dan orang tua dalam sistem pengambilan keputusan sekolah.
Lapisan selanjutnya, berbicara tentang program (programs) sekolah. Pada bagian ini didesain tentang sistem kurikulum sekolah dan silabus pelajaran beserta rasionalnya. Juga perihal, bagaimana program bimbingan dan konseling sekolah, kegiatan ekstrakurikuler dan pembinaan kesiswaan dijalankan. Bagaimana program kegiatan orang tua dalam relasi dengan sekolah akan dijalankan, dsb.
Satu lapisan sebelum terluar, terkait dengan organisasional (organization) sekolah. Misalnya, bagaiman alokasi keuangan dijalankan, jadwal pelajaran siswa dibuat, pembagian jam mengajar guru, agenda mingguan dan semesteran sekolah disusun, jadwal supervisi dijalankan kepala sekolah atau jadwal pertemuan staf dan guru diadakan.
Dan lapisan terluar, lapisan yang sangat kasat mata, dan paling mudah teramati yakni lapisan operasional (operations). Hal ini ditunjukkan antara lain dengan bagaimana seragam sekolah atau jam belajar dimulai, kegiatan guru mengajar di kelas atau mengoreksi hasil pekerjaan siswanya, kepala sekolah melayani tamu atau pengawas sekolah, tenaga kebersihan membersihkan ruangan sekolah, pegawai perpustakaan melayani peminjaman dan pengembalian buku, dan sebagainya.
Tantangan sekolah
Kegagalan sekolah dalam memandang visi-misi sekolah acapkali dikarenakan oleh pemahaman yang keliru tentang hal itu. Beberapa kekeliruan itu antara lain sebagai berikut.
Pertama, visi-misi sekolah acapkali dianggap “jimat”, “aji-aji”, atau benda pusaka. Ia diletakkan di “tempat” yang tinggi, namu tidak pernah menyentuh kehidupan praktis di sekolah. Memiliki visi-misi yang baik, luhur, dan religius seolah dengan sendirinya akan menyelesaikan semua persoalan yang dihadapi oleh sekolah tersebut.
Kedua, visi-misi sekolah tidak pernah diinternalisasikan dan diaktualisasikan dalam seluruh lapisan organisasi sekolah tersebut. Kehidupan sekolah hanya “sibuk” dalam lapisan bawang yang sifatnya praktis, misalnya operasional dan organisasional, semata. Kebijakan sekolah hanya sifatnya responsif dan reaktif saja. Sekolah yang “sehat” harus mendasarkan dan mengembalikan setiap aktifitas yang dilakukannya kepada lapisan sebelumnya. Misalnya, kebijakan sekolah harus sejalan dengan tujuan sekolah, program-program sekolah harus konsisten dengan kebijakan dan tujuan sekolah, demikian seterusnya.
Ketiga, keberlangsungan visi-misi sekolah bukan melulu tanggungjawab pimpinan sekolah saja. Seluruh elemen sekolah, segenap pimpinan dan guru-karyawan di sekolah bertanggungjawab secara penuh menghidupi keberlangsungan visi-misi itu dalam praktek pembelajaran dan pengajaran bersama siswa di sekolah. Visi-misi itu, agar senantiasa hidup dan memberi energi, harus terus direfleksikan dalam setiap praktek pembelajaran di kelas, dalam setiap perjumpaan guru-murid, administrator sekolah-guru, serta kepala sekolah-guru, guru-orang tua murid, dan seterusnya.
Peran pimpinan sekolah adalah memfasilitasi terselenggaranya suasana pembelajaran yang memperhatikan dan menghargai kemanusiaan setiap individu di dalam komunitas sekolah itu, sementara tugas-tanggung jawab guru dan para siswa adalah membuat visi-misi sekolahnya itu menjadi nyata.
Akhirnya, bagaimana situasi sekolah-sekolah kita? Sejauhmana visi-misi telah menggerakkan praktek pembelajaran dan pengajaran sekolah mereka? Ataukah justru, sekolah telah “jatuh” dan terjebak dalam tataran rutinitas dan praktis semata, seperti kegilaan menghadapi ujian nasional (UN), namun tanpa tau mau dibawa kemana arah sekolah mereka. Tanpa sebuah visi, sekolah akan kehilangan sebuah arah dalam praktek persekolahannya.000
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H