Mohon tunggu...
thomas edison soinbala
thomas edison soinbala Mohon Tunggu... Pelajar Sekolah - Pelajar sekolah

Jika kemarin adalah luka, maka usahakan agar hari ini adalah obatnya

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Cangkir Tampan dan Aku

5 Februari 2024   23:00 Diperbarui: 5 Februari 2024   23:19 125
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Sekali peristiwa ketika nenek dan kakek, bapak dan mama dari suami mamaku dari kampung hendak bertandang ke rumah kami, pagi sebelum tibanya mereka, mama mengajakku ke pasar harian yang biasanya beroprasi setiap hari kamis. Entah untuk apa ke pasar, tetapi yang pasti bahwa mama pasti akan memberi uang kepada penjual dan penjual memberi apapun yang mama mau yang kemudian saya mengetahui aktifitas itu namanya berbelanja. Mama belanja.  Letaknya tak jauh-jauh amat. Hanya di sebelah kampung. Mama menggandeng tanganku, menarikku dan aku mengekorinya dan kami pun pergi. Kami jalan kaki karena uang tidak cukup untuk belanja barang keperluan rumah, jika harus ditambah ongkos PP. Saat itu saya masih kecil. Usiaku sekitar tujuh tahun, di mana di usia itu menjadi suatu ritual bagiku karena aku selalu berhasil membuat celana sobek di pantat dan buku tulis kusut dengan kulitnya rutin hilang karena aku sering menggunakannya, untuk mencederai belalang setiap siang di halaman sekolah hanya untuk menjawab ambisi bocahku dan sering lupa sendal jepit sehabis bermain. Ketololan itu adalah identitas lain dari diriku ketika itu. Aku banyak ingus, rambutku keriting, kulitku berlepotan daki dan wajahku menyedihkan. Sangat jelek. Memang begitulah aku karena aku memang anak kampung yang juga puji Tuhan  sangat kampungan pula. Sekitar beberapa jam yang lalu, hujan menggauli bumi sehingga lubang-lubang sepanjang jalanan digenangi air berwarna menyedihkan. Kabut tipis masih berseliweran di antara pepohonan mahoni di sisi jalan dan rinai hujan masih bergelantungan di dedaunan pepohonan sepanjang kampung. Walau begitu aku tetap antusias mengekori mama, menabrak lumpur dengan semangat bak Sangkuriang.

Setelah belanja semua yang dibutuhkan, mama mengajakku pulang. Di tangan kanan, mama menenteng keranjang berukuran sedang yang dipenuhi barang belanjaan dan di tangan kirinya menggenggam tanganku yang belepotan ingus. Mama tak jijik. Aku heran tapi aku senang. Saat hendak keluar dari kerumunan penjual, mama menepi di sisi jalan dan menanyakan sebuah cangkir tua, berwarna kelabu. Dalam bayanganku cangkir itu terbuat dari batu dan hingga hari ini aku sebut cangkir itu gelas batu walau sesungguhnya itu adalah cangkir yang terbuat dari keramik. 

Di tubuh cangkir itu bercorak bunga kembang sepatu berwarna kuning. Aku terheran-heran dengan itu, karena di depan kelasku, ada tanaman kembang sepatu tetapi ketika mekar, kuntumnya berwarna merah bahkan hampir berwarna merah maroon.  Bukan kuning. Setelah bercakap dengan penjual beberapa saat, mama selembar uang dari kantongnya dan menyodorkannya ke penjual, sedang penjual membungkus jualannya itu dalam kantong berwarna hitam dengan bibirnya tersungging senyum simpul penuh kemenangan.

 Entah mengapa mama akhirnya memutuskan untuk membeli cangkir itu, tetapi sejujurnya bagiku cangkir itu sangat jelek melampaui wajahku. Mungkin karena terlampau murah atau mungkin di cangkir itu mama menemukan wajahku di sana. Setalah transaksi antara konsumen dan produsen kelar, mama dan aku meluncur menelusuri jalan yang penuh lumpur itu. Aku tak pernah menyangka bahwa dikemudian hari bahkan hingga hari ini, cankir aneh itu mencatatkan suatu pengalaman transenden.

Kini usia cangkir itu sudah menginjak dua puluhan tahun. Seiring berjalannya waktu, rupanya mama sangat menyukai, mencintai bahkan sangat menyayangi cangkir itu. Kendati demikian cangkir itu oleh mama diperbolehkan bagi siapa saja di rumah untuk menggunakannya. Cangkir tua itu sudah jatuh berulang-ulang kali namun enggan pecah kecuali tangkainya. Tetapi dengan itu ia tampak lebih unik dan mencerminkan keantikan yang luar biasa menarik. Stikma yang disematkan ketika pertama kali krtika cangkir itu dibeli, kini sirna karena sepuluh anak dari segala usia minum dari cangkir tua ini. Ia telah menemani keluarga kami dalam setiap waktu. Waktu sarapan pagi, hendak makan siang dan malam, hendak pergi ke gereja, kendak pergi ke kebun dan terutama ketika haus. Mama kalau buat kopi pun di cangkir itu, sementara bapak biasanya mengisi air hasil ramuannya. 

Pernah sekali, aku menggunakan cangkir itu untuk menutup ta'i hasil berak adik bungsu yang sekarang bukan lagi bungsu tapi anak keenam dari kesepuluh bersaudara ini. Kala itu bapak dan mama membuangnya dan berencana untuk membuangku juga, tetapi kakakku yang kedua memungutnya dengan alasan bahwa itu bagian dari cara alam mensakralkan sesuatu. Akhirnya mama tidak membuangnya. 

Mama turuti apa yang dikatakan kakak yang ke dua bukan karena ada benarnya, tetapi mama memang tidak pernah sekolah sementara kakakku yang kedua pernah rengking satu ketika masih duduk di bangku SD. Mama mencucinya dengan abu dapur sekitar tiga belas kali, dengan arang tiga belas kali dan menggosoknya dengan tempurung kelapa yang disulap menjadi gosok periuk sebanyak tiga belas kali. Selebihnya mama mengetok kepalaku menggunakan cangkir itu sebanyak tak terhitung. Kepalaku benjol dan berdarah tetapi rupanya cangkir itu lebih tampan dari aku sehingga yang patut dikasihani adalah cangkir itu bukan aku. Aku tidak iri karena memang demikianlah kebenarannya.

Yah. Apa boleh buat.  Oh ya! Peristiwa itu terjadi ketika cangkir itu berusia tiga tahun dan aku, aku lupa berusia berapa tahun waktu itu.  Begitulah. Cangkir itu menjadi teman seperjalanan dan menakar hingga kokoh di dalam hati dan otak keluarga kami, sehingga cangkir itu seakan menjadi anak kandung bagi semua yang bernapas dalam rumah kecuali aku karena bagiku, cangkir itu adalah saingan terberat yang pernah aku jumpai dalam hidupku. Selebihnya cangkir itu adalah aib bagiku. Cangkir itu menemani keluarga kami dalam kehidupan dan kematian. 

Cangkir itu telah memberi segala sesuatu. Dia selalu ada di dalam rumah itu dan takhtanya adalah meja makan. Dia merupakan bagian dari misteri hidup yang senantiasa berjalan di dalam kehormatan akan eksistensi yang agung yang dinobatkan baginya oleh mama dan bapak. Cangkir itu tetap bertahan hingga hari ini. Ia tampak sangat dan sangat tua. Namun, ketuaan itu menambah daya kesakralan yang patut dihormati sebagai sakramen. Ketuaannya itu juga merupakan kemudaan karena ia menjadi wadah yang senantiasa menghidupkan. Ia sungguh menjadi aset bagi keluarga kami.

Ketika kami minum dari cangkir itu, kami tidak hanya minum air, tetapi kami minun suatu kehidupan dan kenangan. Kami minum darinya sebagai wadah dan ia mengantar kami pada kesegaran, kelembutan, cinta, kasih, familiaritas. Dalam cangkir itu, entah air macam apa saja yang ditampungnya, ia terasa segar dan mengalirkan kehidupan. Setiap orang dalam rumah minum dari cangkir ini, ketika ia ingin memisahkan diri dari dahaganya. 

Seakan-akan ia adalah suatu kredo yang menyimbolkan kesakralan  dan pantas membuat ritual baginya dengan cara menggunakannya ketika minum. Baik air maupun sopi Timor yang biasa disadap dari nira lontar dan pohon gewang. Ketika minum dari cangkir ini, membuat kami semua yang ada dalam rumah akan  berseru, "Betapa mejarapnya air yang ada di dalam cangkir ini". Dari berita yang dikeluarkan oleh pak RT kami mengetahui bahwa berdasarkan survei, sumber air yang biasanya kami konsumsi tidak begitu sehat. Air itu meresap dari limbah pabrik yang telah terkontaminasi sepenuhnya. Air yang kami konsumsi penuh dengan khlorine, tetapi syukur kepada cangkir ini, bahwa ketika mengonsumsi air yang kotor sekalipun, justru terasa enak dan sungguh menyegarkan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun