Mohon tunggu...
Kebijakan Pilihan

Demokrasi Dewasa Ini

1 Desember 2018   08:08 Diperbarui: 1 Desember 2018   09:09 397
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pemerintahan. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Pada keseharian kita sebagai warga negara Indonesia tentu saja sudah sering mendengar apa itu demokrasi, tapi apa itu sebenarnya demokrasi. Yang paling sering kita dengar adalah kata-kata saat pemilu dilaksanakan adalah "Dari rakyat, oleh rakyat, untuk rakyat". Dengan kata sederhana itu sudah dapat menggambarkan apa pengertian dari demokrasi itu sendiri. Rakyat adalah pemegang kekuasaan tertinggi di kehidupan demokrasi.

Demokrasi bertujuan untuk agar setiap rakyat dapat mengemukaan pendapatnya. Setiap rakyat berpengaruh dalam pemerintahan di Indonesia. Dengan daerah yang luas sistem demokrasi Indonesia memiliki sistem dewan perwakilan. Dewan perwakilan yang menjadi penyalur atau jembatan suara dari daerah menuju ke pusat. 

Demokrasi juga sangat erat dengan kata "Pemilu". Pemilu adalah konsep paling dasar dari demokrasi. Bahwa setiap orang dapat memberikan suaranya untuk masa depan bangsa dan negara. Pemilu juga didasarkan pada azas Luberjurdil. Luberjurdil yaitu Langsung, Umum, Bebas, Rahasia, Jujur, dan Adil adalah Pemilu yang ideal bagi suatu pemerintahan.

Sayangnya di negara kita yang tercinta ini, Indonesia seringkali demokrasi telah dikotori atau mungkin bisa disebut melecehkan. Demokrasi yang seharusnya dasarnya berguna bagi seluruh bangsa menjadi dimanfaatkan oleh suatu golongan saja. 

Hukum yang seharusnya menaungi justru digunakan untuk menyerang dengan "pasal karet". Pasal karet yang dimaksudkan adalah pasal yang dalam undang-undang yang dianggap tidak memiliki tolak ukur yang jelas. Dalam masyarakat pasal yang biasa disebut pasal karet adalah pasal pencemaran nama baik, penistaan agama, UU lalu lintas, dan UU ITE.

Pasal karet yang sedang panas-panasnya dibicarakan sekarang ini adalah pasal penistaan agama. Tolak ukur yang rancu membuat pasal ini bisa menjadi alat penyerang suatu oknum yang mungkin tidak bermaksud seperti itu. Dalam hal ini penistaan pastinya hal seperti ini menyangkut perasaan. 

Manusia sebagai makhluk yang terbatas tidak bisa memahami perasaan secara seluruhnya. Apalagi dalam konteks yang besar yaitu agama. Umat beragama berjumlah tidak hanya 100-200 tapi dapat mencapai ribuan bahkan jutaan. Bagiku mungkin tidak menista tapi bagi orang lain menista dengan cakupan yang luas maka pendapat menista agama bisa tidak relevan satu sama lain.

Jadi bagaimana dengan kehidupan berdemokrasi di Indonesia sekarang ini? Demokrasi yang dilecehkan oleh sebagian oknum menjadi sulit untuk dipercayai lagi. Beberapa golongan memanfaatkan pasal karet sebagai tindakan menjatuhkan lawan politik. Demokrasi tidak dapat lagi disebut pesta melainkan neraka. Segala hal selalu dihubungkan dengan agama. 

Bahkan para pendiri NKRI dapat bersikap toleran terhadap keberagaman yang ada di Indonesia, tapi kenapa kita yang sudah hidup di zaman serba mudah justru memicu perpecahan. Segala perjuangan digunakan untuk membuat NKRI dapat berdiri tegak, oleh karena itu kita jangan sampai menyerah membuat negara tercinta ini menjadi negara yang hebat.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun