Mohon tunggu...
thomas wibowo
thomas wibowo Mohon Tunggu... Guru - pedagog

praktisi pendidikan di kolese kanisius jakarta

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Tantangan Guru di Era Disrupsi

2 Mei 2021   14:00 Diperbarui: 2 Mei 2021   14:04 477
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

Ada yang abadi atas peran seorang guru masa lalu, kini, dan masa mendatang. Peran itu adalah memberi “warna” setiap generasi pada jamannya. Terinspirasi film “Laskar Pelangi”, yang saya tonton di Youtube, beberapa hari lalu, ada perasaan tergelitik yang saya rasakan yakni betapa kesederhanaan dan sikap seorang guru sejatinya mampu menggetarkan sosok-sosok lugu anak pedalaman itu.

Kita tertarik oleh cerita dalam film tersebut, bukan saja lantaran “sikap” nakal atau jenakanya lakon anak-anak Belitung dalam film itu. Saya terhenyak menyaksikan seorang Cut Mini, yang memerankan sosok guru itu, dengan cinta yang luar biasa, mampu “mengubah” cara berpikir anak didiknya menghadapi  segala rintangan  yang mereka alami.  Guru masa kini bukanlah sosok Oemar Bakrie, yang menyita perhatian “orang” karena belas kasihan. Ia punya peran heroik yang tidak mudah digantikan. Ini kiranya satu hal yang pantas direnungkan ketika menyadari akan betapa pentingnya peran guru bagi masa depan anak-anak jaman.

Peran guru era saat ini tentu saja lebih kompleks daripada yang digambarkan dalam film tadi. Kompleksitas itu ditunjukkan, misalnya, bagaimana seorang guru mesti merespon beragam kebutuhan anak didik yang berbeda, perkembangan teknologi yang demikian cepat merambah, merespon dunia kerja yang ekspansi, atau tuntutan meraih keunggulan dari masyarakat saat ini, serta perubahan di dalam masyarakat yang tidak terpetakan (disrupsi) akaibat teknologi dan ledakan globalisasi yang menggurita di semua lini kehidupan. 

Celakanya, citra guru masih bergerak di tempat. Masyarakat acapkali mengidentikkan guru dengan kelas pekerja bergaji rendah dan kompetensi mengajar yang kurang memadai. Itulah mengapa program sertifikasi guru “laris manis” dalam wacana guru saat ini. Satu sisi ia membidik profesionalitas, pada sisi lain diharapkan mampu mengangkat “derajat” guru melalui insentif tambahan yang diterimanya. Meski demikian, harus diakui program itu tidak mengatasi masalah rendahnya kompetensi guru, seperti ditunjukkan oleh rendahnya angka prosentase hasil uji kelayakan mengajar baik untuk guru negeri maupun swasta.

Berada dalam tegangan antara idealisme peran yang dijalankan dan realitas empirik di lapangan, pertanyaannya adalah sejauhmana seorang guru masih mampu menjalankan perannya menjadi agen perubahan di dalam masyarakat?

Tanggung jawab moral

 Sejak menjatuhkan “pilihan” sebagai guru, sejatinya seorang guru terikat kontrak menjadi seorang agen perubahan. Peran itu terjadi pada titik perjumpaan antara sang guru dengan anak didik di sekolah. Guru memiliki andil demikian besar dalam menentukan dan membuat perbedaan kepada anak didiknya. Secara ekstrim dapat dikatakan bahwa baik atau buruk, hitam atau putihnya “gambaran” anak didik di masa depan sangat ditentukan oleh peran masa kini sang guru di sekolah. Celakanya, saat ini sekolah bukan lagi satu-satunya institusi sosial yang secara khusus dan terorganisir mengembangkan anak didik memeluk kebenaran, mengasah afeksi dan cinta, terampil  hidup meski belajar di depan sekotak layar monitor komputer akibat pandemi yang belum reda.

 Dalam tantangan semacam itu muncul ketegangan akan peran sekolah dan guru di dalamnya. Guru yang lambat memperbaharui diri akan makin berjarak dan tak lagi mampu mengimbangi gerak cepat perubahan kebutuhan belajar anak didik dan kebutuhan masyarakat. Guru yang memilih puas dengan status quo, akan segera kehilangan peran heroik sebagai agen perubahan. Tak jarang ia hanya akan menjadi “korban” kebijakan perubahan kurikulum yang tak kunjung henti di sekolah, sementara ia tak akan pernah memahami esensi pengajaran yang dijalankan.

Guru diharapkan mampu membawa perubahan-perubahan positif bagi anak didik dan komunitas belajarnya. Peran itu setidaknya dijalankan dalam konteks kurikulum, di mana guru semakin mampu menghidupi kurikulum di kelas bersama para peserta didik. Kata-katanya dalam menggetarkan hati para murid, bukan hanya tajam melukai rasa anak didik. Tindakannya membuat kagum para murid bukan sekedar gaya seorang badut yang mulai ditinggalkan anak didik. Sikapnya menebar inspirasi dan membuat para murid menemukan model yang pantas diteladani oleh anak (walk the talk).

Itulah tanggungjawab moral guru. Tanggung jawab moral guru itu melekat erat dalam diri seorang guru di manapun ia berada atau bagaimanapun situasi dan kondisi yang terjadi dengan guru itu.

Kapasitas perubahan

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun