Perayaan Idhul Fitri kali ini menuntun umat pada perilaku baru. Tahun ini menjadi perhelatan silaturahmi kali pertama yang terasa sepi. Meski umat tak kehilangan saat untuk saling berkunjung, menyapa, dan memaafkan perilaku lama, tetap saja silaturahmi kali ini dirasakan sepi.
Mudik atau tradisi perantau pulang kampung saat Idul Fitri, memang resmi tak ada lagi tahun ini. Namun itu bukan berarti memutus atau menghapus tali silaturahmi. Mudik, yang selama ini identic dengan peristiwa eksodus umat manusia berpindah ke "negeri" tanah kelahiran harus diakhiri. Pandemi, bisa jadi menjadi halangan saat ini. Yang pasti, sekarang masyarakat mulai dituntut mencari arti yang lebih hakiki.
Memaknai Idul Fitri dan tradisi mudik hanya berhenti sebatas peristiwa sosiologis umat manusia dan tradisi ketimuran kita rasanya tidak lagi mewadahi. Meski saya seorang nasrani, setiap tahun saya sendiri menikmati Idul fitri dan fenomena mudik sebagai kesempatan merefleksikan diri. Melalui tradisi itu, saya terus diingatkan kembali ke jati diri da nasal muasal kehidupan meski selama ini hidup di tanah Betawi.
Sepinya Idul Fitri, dalam situasi pandemi seperti sekarang ini, bukan tanpa arti. Sebagai makhluk sosial dan citra yang Ilahi, umat manusia selalu menemukan yang agung daripada sekedar mengenyangkan kepuasan diri. Kehadiran tetangga, sahabat, rekan kerja, saudara, dan keluarga semakin menjadi kebutuhan justru tatkala pandemic membatasi. Mereka ternyata berharga, bukan saja aspek kapitalisasi semata dan pemuas nafsu kuasa.
Manusia disadarkan akan takdir dan citra keilahian yang dihembuskan kepadanya pada saat adanya. Kesadaraan akan eksistensi sebagi titik tak berdaya "ibarat debu" membuatnya semakin menyadari Sang Pencipta.
Ikatan emosionalitas manusia diretas oleh jarak akibat pandemi. Meski teknologi dan aplikasi menjadi obat penenang, efek "sakit" yang ditimbulkan tak cukup mengusir rasa sepi di hati. Jarak selalu dipersalahkan. Jika itu "saya butuhkan" apa saja bisa dikorbankan supaya orang menjadi tak berjarak dengannya.Â
Sebaliknya, jika kutuk (rasa sakit, benci, kecewa, dan dengki) menyapa apa saja dilakukan agar tak sedetikpun ia bersamanya. Meski manusia sadar hanya satu hal sederhana yang perlu dilakukan untuk menyelesaikannya, yakni menerima realitas itu menjadi miliknya.
Untuk orang beriman, sepi adalah jalan pertobatan manusia kepada pencipta-Nya. Sejak dalam kandungan ibu, sampai ajal menjeput, kesendirian dan sepi melekat tanpa dicari. Itulah mengapa tangisan selalu ada dan menyertai tatkala manusia dihadapkan pada jati dirinya. Tangisan kelahiran seorang anak kecil masuk dunia ramai selalu dinantikan. Sebaliknya, tangisan kematian dihindari dan dijauhi.
Mengapa? Suatu paradox sejatinya dalam kemanusiaan kita. Kematian yang dipercaya mengantarkan jiwa manusia pada sang khalik yang Rahim mestinya disyukuri. Manusia selalu hidup dalam tegangan, tegangan antara kemanusiaan dan keilahian. Raga mengikat kemanusiaan kita, jiwa menjadi jembatan pada Sang Pencipta. Pada akhirnya, hanya dengan berserah dan membiarkan Sang Khalik lebih dalam mencintai jiwanya menjadi jalan kebahagiaan kita, manusia.
Sepi merupakan cara Tuhan membuat manusia harmoni dengan alam semesta. Anugerah Tuhan hadir dalam bentuk yang tidak kita sadari. Melalui pandemi ini, alam semesta dipulihkan, dimurnikan, dan dikembalikan dalam harmoni seperti awal diciptakan. Semakin lama kita berdiam di rumah, semakin banyak kendaraan di parkir di garasi rumah, semakin lama pabrik penghasil polusi berhenti sejenak, lihatlah alam semakin asri dan kembali memberi kehidupan serta keharmonisan bagi manusia.
Langit kembali biru, kandungan karbonmonoksida menurun, lapisan ozon tak segera menipis, burung-burung terbang rendah dan hinggap di jalan komplek rumah. Meski keindahanya tak menutup luka dan pendihnya hati karena ditinggal saudara-saudara yang harus lebih cepat dijemput ajal dan bersatu kembali dengan Sang Rahim ibunya, pemilik kehidupan.