Dasyatnya alam bertindak melalui wabah Covid-19 yang menimpa umat manusia mengirimkan pesan tersendiri bagi sekolah. Pertama, sekolah harus lebih ramah dengan teknologi. Kedua, pergeseran paradigma guru dalam mengajar. Dan terakhir, ketiga, bagaimana mendorong guru semakin merdeka dalam mengajar.
Pesan pertama, sejauhmana dunia sekolah ramah dengan teknologi. Bisa dibayangkan jika selama ini guru alergi memanfaatkan teknologi dalam pembelajaran. Kalau kita jujur, masih banyak sekolah di daerah yang mengalami kesulitan akan hal ini.Â
Apa yang terjadi? Kegiatan pembelajaran di kelas identik dengan kehadiran fisik si guru di dalam kelas. Saat guru tidak berada di kelas secara fisik pembelajaran pun tidak terjadi. Jika terjadi pun, musibah datang bagi para siswa seiring dengan seabrek tugas dariguru yang tidak pernah mendapat umpan balik dan apresiasi.
Maka kita bisa membayangkan apa yang terjadi manakala dalam pembelajaran daring saat ini, karena kondisi wabah, siswa hanya dibebani tugas tak henti dari guru? Siswa hanya bisa mengeluh dan gigit jari? Tentu saja bukan demikian itu yang diharapkan para siswa.
Banyak sekolah di kota besar dengan aset dan fasilitas yang memadai banyak memiliki guru yang sudah literet menggunakan banyak aplikasi, browser ataupun media sosial untuk menunjang dan mengoptimalkan pembelajaran. Ini menggembirakan karena siswa mendapatkan piranti yang membuat mereka lebih terlibat dalam belajar daripada sekedar mimetic saja.
Hal kedua, pergeseran paradigma pembelajaran. Banyaknya guru yang memanfaatkan media dan teknologi pembelajaran offline maupun online menjadi langkah maju pembelajaran.
Dalam sebuah survey menggunakan google form terkait pihak-pihak yang mendominasi kegiatan pembelajaran daring hal ganjil saya temukan. Prosentase menunjukkan 85% nama yang muncul paling dominan selama pembelajaran daring adalah gurunya. Hal ini mengindikasikan tidak ada perubahan paradigma apapun dalam cara guru guru mengajar dari pembelajaran reguler ke daring.Â
Mestinya, dengan sarana dan ketidakterbatasan sumber belajar virtual, aktivitas para siswa mengeksplorasi dan mengelaborasi masalah lebih dominan daripada aktivitas "menjelaskan" si guru. Bukankah dunia internet bisa menjadi laboratorium tak berbatas ilmu pengetahuan daripada informasi terbatas sang guru?Â
Seorang guru tahu persis tujuan belajar dan bukti belajar yang mau dicapai juga akan mudah baginya menentukan cara/ strategi belajar yang sebaiknya digunakan. Saya teringat sebuah artikel berjudul "many sizes fit all", tulisan Weisstein dan Jacobson (2009) menandaskan akan tugas guru memberikan multiple pathways (beragam cara) kepada siswa menunjukkan tagihan belajar yang ditentukan. Maka, tugas guru adalah membuat skenario-skenario yang diperlukan agar siswa dapat mencapai sesuai karakteristik belajar mereka masing-masing.Â
Bagaimana hal tersebut dapat dilakukan oleh para guru sebagai seorang arsitek pembelajaran di kelas mereka masing-masing?
Itulah pekerjaan rumahnya, ketiga, bagaimana mendorong agar para guru guru yang selama ini "hidup" sebagai tukang mengajar menjadi arsitek mengajar.