Mohon tunggu...
Gunawan Wibowo
Gunawan Wibowo Mohon Tunggu... -

seorang praktisi pendidikan tinggal di jakarta.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Tantangan Pendidikan Karakter di Sekolah

23 Juli 2009   04:00 Diperbarui: 26 Juni 2015   19:55 744
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pemerintahan. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Kontroversi UN belum akan segera berhenti. UN sebagai ajang ujian kejujuran, sebagaimana dicanangkan Mendiknas tahun lalu rupannya masih sebuah utopia. Kejadian ditangkapnya 16 kepala sekolah, sejumlah guru, dan pejabat Dinas Pendidikan Bengkulu Selatan yang terlibat dalam pencurian dan pembocoran soal UN seolah semakin melengkapi berbagai tindak kecurangan dan penyimpangan pelaksanaan UN yang terjadi selama ini (Kompas, 25 April 2009).

Peristiwa itu tentu menjadi "awan kelabu" praktek persekolahan negeri ini. Sekaligus juga mencederai siapa saja yang menaruh harapan kepada sekolah agar mampu menjadi pusat pendidikan karakter dan faktor yang menentukan kualitas hidup siswa serta masa depan masyarakat. Harapan itu mudah dipahami tatkala kaum muda mulai "kelelahan" menemukan figur atau sosok pejabat publik berkarakter, atau bahkan juga dari mereka yang mengklaim sebagai kelompok agamawan.

Sekolah merupakan satu-satunya institusi sosial yang secara khusus dan terorganisir bertanggungjawab mengembangkan anak didik memiliki pengetahuan dan ketrampilan tidak hanya terkait kebenaran, namun juga keindahan serta keadilan. Lickona (1991), dalam bukunya Educating for character: How our school can teach respect and responsibility, mengingatkan pentingnya sekolah dan guru menempatkan karakter sebagai pilar utama dalam pendidikan khususnya melalui pengajaran sikap hormat dan tanggungjawab.

Bagi Lickona, karakter merupakan sebuah gambaran universal seseorang yang memiliki keberanian dan keyakinan untuk hidup dalam keutamaan moral. Seseorang yang berkarakter akan mempunyai kebijaksanaan untuk melakukan diskresi apakah suatu hal itu "benar" atau "keliru", ia jujur, dapat dipercaya, penuh rasa hormat, dan bertanggungjawab, ia akan mengakui dan mau belajar dari kesalahan, serta memiliki komitmen untuk hidup seturut prinsip moral yang benar.

Proses pembentukan karakter tidak terjadi di kejauhan sana, namun berjalan seiring dengan proses pembelajaran di sekolah. Orang tua dan masyarakat pada umumnya sungguh merindukan para guru akan mengajarkan karakter dan keutamaan hidup bagi orang muda yang akan membantu mempertajam dan membentuk mereka menjadi pribadi tangguh yang dapat memberikan kontribusi kepada masyarakatnya. Seorang siswa akan "belajar" dari gurunya mulai hal "baik" sampai yang "terburuk".

Bukankah masih terekam jelas dalam ingatan bagaimana seorang siswa akan mengenang penuh haru ketika ia megalami "kebaikan" dan rasa "dicintai" oleh guru ketika dia masih bersekolah. Sebaliknya, ia akan mengalami luka batin yang tak mudah disembuhkan atas pengalaman "dilecehkan" atau "ketidakadilan" yang diterima semasa kecil.

Guru Sebagai "Role Model"

Pengalaman itu menguatkan dalil bahwa guru sejatinya adalah "model" ideal bagi siswa. Pembentukan karakter pada diri siswa sesungguhnya berlangsung bukan saja melalui setiap kata yang keluar dari mulut si guru, namun justru tumbuh melalui proses interaksi bagaimana mereka diperlakukan dan diajar oleh sang guru di kelas.

Itulah mengapa, seorang guru perlu memahami bagaimana para siswa melakukan proses internalisasi nilai-nilai moral dalam diri mereka. Lumpkin (2003), menjelaskan proses itu dalam tiga fase, yakni mengetahui (moral knowing), menilai (moral valuing), dan menjalankan aksi (moral acting).

Pada fase "mengetahui" siswa belajar mengenal dan memilih berbagai isu moral seperti kejujuran dan tanggung jawab. Setelah itu, ia mulai "menilai" dan menimbang-nimbang apakah mencontek misalnya, sebuah praktek ketidakjujuran dan merugikan orang lain. Berdasarkan dua fase pertama ia akan memutuskan dan menentukan "aksi" bahwa mencontek tidak layak dilakukan seorang siswa karena bertentangan dengan kejujuran, tidak adil, dan merupakan bentuk pengingkaran atas kemampuan diri yang sesungguhnya.

Bagaimana seorang guru menjadi model pengajaran karakter dan keutamaan moral seperti kejujuran, kepercayaan, keadilan, rasa hormat, dan tanggungg jawab di dalam kelas dapat didiskusikan melalui beberapa contoh berikut ini.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun