Beberapa minggu terakhir ini kita membaca dan mendengar kedua kubu calon presiden menyerukan tentang tekad mereka untuk mewujudkan kemandirian ekonomi Indonesia, bila mereka nanti terpilih sebagai presiden pada pilpres yang akan datang. Pernyataan ini kiranya perlu disimak sungguh-sungguh karena selain bertujuan mulia dan karenanya perlu didukung, tapi juga perlu dicermati karena sikon internasional dan regional di bidang perdagangan dewasa ini tidaklah mudah seperti di masa lalu.
Memahami sepak terjang bisnis dalam perundingan Perdagangan Internasional di Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) tidaklah mudah. Masing-masing negara, terutama negara maju, berlomba mencari keuntungan tanpa peduli kepentingan negara lain (baca: negara berkembang) dalam merumuskan berbagai aturan perdagangan internasional. Mungkin ini sebabnya perundingan WTO sudah mandek selama hampir 11 tahun sejak disepakatinya Agenda Pembangunan Doha tahun 2001. Konferensi ke-9 WTO di Bali bulan Desember 2013 lalu, menyepakati Perjanjian Fasilitasi Perdagangan (Trade Facilitation Agreement – TF), satu-satunya perjanjian yang bisa disepakati. Apa sebenarnya Perjanjian TF tersebut? Apa untungnya bagi negara berkembang, dan Indonesia khususnya? Jangan-jangan justru mempersulit? Tapi karena sudah disepakati, suka tidak suka harus dijalankan.
Ternyata perjanjian itu menuntut negara berkembang untuk melakukan banyak perubahan yang membutuhkan tidak sedikit dana, waktu, dan infrastruktur, termasuk SDM serta perubahan undang-undang dan peraturan untuk memperlancar arus barang impor yang masuk, yaitu ekspor dari satu negara ke negara lain. Fokus perubahan yang harus dilakukan adalah perbaikan, penataan, dan perombakan baik sarana dan prasarana fisik dan non-fisik di pelabuhan-pelabuhan masuk barang impor. Menurut lembaga PBB untuk isu perdagangan dan pembangunan (UNCTAD), waktu yang dibutuhkan untuk implementasi 1 ketentuan saja dalam Perjanjian TF hasil konferensi di Bali memakan waktu 3 – 10 tahun dengan biaya antara 300 ribu – 3 juta dolar AS. Sedangkan OECD memprediksi biaya implementasi seluruh perjanjian yang dibutuhkan adalah 3,5 juta sampai 19 – 20 juta euro. Belum lagi biaya pemeliharaan yang diperkirakan sekitar 2,5 juta euro per tahun.
Jadi sebenarnya apa itu Perjanjian TF WTO? Perjanjian ini mengatur prosedur dan sistem yang bertujuan memperlancar masuknya barang impor dengan membangun sarana dan prasarana, serta perubahan aturan untuk mengurangi biaya dan waktu transaksi, termasuk mencegah pungli di pelabuhan. Memang negara berkembang diberikan waktu untuk melakukan penyesuaian sebelum melaksanakan perjanjian itu. Namun, kepada mereka diberikan batas waktu yaitu sampai akhir bulan Juli 2014, dimana anggota WTO yang “mampu” harus menyatakan kesanggupannya untuk melaksanakan beberapa atau sebagian dari isi perjanjian tersebut. Apabila sudah menyatakan kesanggupan pada akhir Juli 2014, tetapi kemudian dinilai tidak melaksanakan kesanggupannya tersebut, konsekuensinya adalah mereka akan digugat dan dapat ke forum sengketa WTO.
Sebagai negara kepulauan terbesar di dunia, isi perjanjian seperti ini pastilah akan membawa konsekuensi yang sangat memberatkan bagi Indonesia. Perjanjian ini mewajibkan Indonesia membangun dan menyiapkan fasilitas pelabuhan yang memenuhi keinginan negara pengekspor barang ke Indonesia sesuai ukuran dan “standar” mereka. Lebih gawat lagi, semuanya harus dilakukan di lebih dari 400 pelabuhan masuk barang impor, baik yang besar atau kecil, yang tersebar di seluruh Indonesia.
Indonesia sampai saat ini tidak memiliki aturan nasional yang menetapkan berapa dan mana pelabuhan nasional Indonesia yang digunakan sebagai pintu masuk barang impor. Apakah semua pelabuhan di Indonesia, dari Sabang sampai Merauke dianggap sebagai pelabuhan pintu masuk barang impor? Dan karenanya harus ditata dan disesuaikan dengan ketentuan Perjanjian TF. Sebagai perbandingan, negara sebesar Amerika Serikat saja hanya menetapkan dua pelabuhan sebagai pintu masuk barang impor, sedangkan China bahkan hanya menetapkan satu saja. Fakta Ini dapat dijadikan pertimbangan Indonesia, khususnya untuk menyiasati beban berat yang harus dipikul Indonesia dalam implementasi Perjanjian TF tersebut. Belum lagi kewajiban lainnya yang dapat dinilai “mengurangi kedaulatan dan harga diri bangsa”, seperti adanya keharusan penerbitan dan pembuatan dokumen dalam Bahasa Inggris yang dapat mengecilkan dan merendahkan Bahasa Indonesia di negara sendiri.
Ibarat kembang desa yang sedang merekah, Indonesia dengan 240 juta penduduk, dan PDB sekitar 1 trilyun dolar AS, merupakan mega pasar yang sangat menggiurkan. Negara maju dan juga negara-negara tetangga kita – termasuk beberapa negara ASEAN sendiri, berlomba-lomba membujuk, memaksa dan menekan Indonesia, baik melalui WTO, APEC, dan ASEAN, agar Indonesia menerima dan menerapkan seluruh isi Perjanjian TF. Mereka mau Indonesia segera mengikatkan diri pada akhir bulan Juli 2014.
Di tengah semangat nasionalisme dan kemandirian ekonomi yang dipakai sebagai platform kampanye para calon presiden, sebaiknya pemerintah saat ini harus bersikap ekstra hati-hati dalam hal ini. Kita tetap harus memegang komitmen kita, tapi kita tidak harus menjadi pahlawan sekedar untuk mendapat pujian negara-negara lain. Perjanjian TF sendiri memberi peluang kepada semua negara anggota, termasuk Indonesia, untuk mengimplementasikannya sesuai dengan kemampuan. Jadi kita jangan mau dibujuk, dipaksa dengan iming-iming pujian dan tepuk tangan negara lain, bahkan dari negara anggota ASEAN. Sesungguhnya inipun hanya untuk melindungi kepentingan dagang mereka sendiri, dan sama sekali tidak peduli dan mengabaikan kepentingan nasional dan kepentingan ekonomi bangsa Indonesia. Pemerintah saat ini harus tetap memperhatikan kepentingan nasional dan tidak membuat keputusan yang akan menyulitkan pemerintahan yang akan datang.
Perlu diingat bahwa “hambatan kepabeanan” tidak selamanya buruk, dan bahkan sering dijadikan benteng pertahanan terakhir untuk membendung banjirnya barang impor ke suatu negara. Perjanjian TF ini sesungguhnya lebih untuk kepentingan negara pengekspor, khususnya negara-negara maju dan berkembang yang tergiur dengan pasar besar, seperti Indonesia. Terlebih lagi karena perekonomian negara maju saat ini belum pulih benar dari krisis keuangan global tahun 2008. Curangnya, ekspor dari negara berkembang ke negara maju tetap dihambat dan dipersulit bukan dengan sistem kepabeanan, tapi dengan berbagai alasan yang dicari-cari seperti alasan kesehatan, lingkungan hidup, HAM, dan kualitas standar barang yang tidak dapat dipenuhi karena keterbatasan kapasitas teknologi. Dengan demikian, tidaklah salah kalau Perjanjian TF pada akhirnya akan lebih bermanfaat dan sekedar alat untuk memenuhi kepentingan negara maju dan hanya membebani negara berkembang seperti Indonesia. Dan semua ini dilakukan atas nama liberalisasi perdagangan. Keinginan menciptakan kemandirian ekonomi karenanya harus diperjuangkan dan pandai-pandai menjawab dan mensiasati tantangan.
Pertanyaannya sekarang, apakah pemerintah saat ini akan tunduk pada tekanan-tekanan itu? Dengan pemerintahan yang saat ini akan diganti kurang dari 6 bulan oleh siapapun pemenang pilpres mendatang, harus diwaspadai keperluan menjaga kemandirian ekonomi Indonesia dari tekanan pihak luar dengan dalih liberalisasi perdagangan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H