Jika umat Islam hanya diam saja tanpa ada perang pemikiran (ghazwul fikr), maka Islam akan semakin terpuruk. Akibatnya, moral umat Islam akan terbawa arus budaya barat, sehingga budaya kebarat-baratan (westernisasi) akan mengendalikan negara Islam, dan akan kehilangan kekuatan besarnya.
Maka, bagi pesantren melakukan keselarasan sistem adalah suatu keniscayaan. Pesantren harus bisa mengimbangi cepatnya arus global Artinya, jika pesantren mengadopsi pemikiran-pemikiran barat, maka itu sah-sah saja, asalkan tidak sampai kehilangan identitas diri tradisi ulama salaf, karena dari era tradisionallah ia berangkat hidup dan bangkit. Jika diberangus, maka jati diri akan hilang.
Wacana di atas, penulis melihat seakan sejarah al-Asy'ari, ar-Razi dan al-Ghazali dalam melawan produk-produk yang berpikir serampangan dan bebas lepas berpikir, telah terulang kembali. Maka, saat ini pesantren tengah diuji kembali akan kemampuannya dalam melawan arus globalisasi. Pesantren ditantang berlaga di pentas internasional yang mana produk luar, mudah sekali masuk ke negeri ini tanpa hambatan.
Dengan demikian, yang dihadapi pesantren adalah meneguhkan dan menghidupkan nilai-nilai Islam salaf yang murni. Jika ini berjalan, maka bukan hanya pesantren yang akan naik daun, juga Islam dengan sendirinya akan mulia sebagaimana masa lalu, sebab pesantren ialah barometer dan tolok ukur nusantara, naik turunnya jelas bergantung pada realitas pesantren.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H