Mohon tunggu...
hidayat shodiq
hidayat shodiq Mohon Tunggu... -

dari sleman yogyakarta

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Kegalauan di Tengah Perdebatan Soal Pemakaian Atribut Natal

18 Desember 2014   17:18 Diperbarui: 17 Juni 2015   15:03 161
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Beberapa minggu ini media massa kita santer membicarakan larangan mengucapkan selamat hari raya natal bagi umat muslim dan fatwa haram menggunakan atribut perayaan natal bagi orang muslim. Bagi orang yang fanatik terhadap agama islam, menganggap persoalan  ini sebagai sesuatu yang sangat penting untuk dibahas, ditelaah, kalau perlu diantisipasi supaya tidak menjangkiti muslim lain. Alasan yang sering mengemuka adalah untuk menyelamatkan akidah. Atau sebagai perwujudan keimanan kita kepada agama tauhid.  Terkait hal ini muncullah “perang” komen dan pendapat di dunia maya antar sesama muslim. Ironisnya, mereka adalah orang-orang yang menjadi publik figur yang seharusnya dijadikan tauladan dan cerminan bagi masyarakat awam. Hal ini juga turut mengundang menteri agama Lukman Hakim ikut berkomentar dan memberikan pernyataannya. Menurutnya, masing-masing pemeluk agama dituntut untuk dewasa dan bijak serta tidak menuntut apalagi memaksa seseorang untuk menggunakan pakaian atau atribut agama yang tidak dianutnya.

Dari beberapa pernyataan dan alasan-alasan yang ada menurut analisa saya terkesan  memberikan kesan eksklusif bagi umat islam itu sendiri. Bahwa islam itu Rahmatil Lil Alamin kurang begitu terasa dalam persoalan ini. Pemaknaaan islam rahmat bagi seluruh alam itu hanya sebatas wacana yang indah untuk diucapkan tetapi berat untuk diamalkan. Padahal islam sendiri tidak menyuruh umatnya untuk menjalani sesuatu yang berat.

“Yassiru Wa La Tuassiru..” permudahkanlah jangan dipersulit. Begitu kira – kira cuplikan potongan hadis yang saya ingat. Mempermudah persoalan bukan berarti menganggap mudah persoalan tersebut. Menganggap mudah terkesan meremehkan persoalan.Tetapi juga tidak mempersulit persoalan, karena mempersulit persoalan terkesan eksklusif dan sulit dijangkau masyarakat awam. Jika di luar sana banyak kita dengar ungkapan yang mengatakan” kalau bisa dipersulit kenapa dipermudah”. Ini adalah perkataan seseorang yang didorong oleh nafsu serakah yang tidak akan pernah puas sampai kapan pun. Keinginan yang tak kan pernah ada akhirnya, keserahan dan ketamakan adalah penyakit hati yang sering melanda diri kita

Sebagai seorang pendidik saya sering ditanya oleh murid-murid saya mengenai persoalan ini. Bagaimana hukum mengucapkan selamat natal kepada non muslim? Bagaimana hukum membantu hari besar mereka?

Dari pertanyaan-pertanyaan tersebut saya berusaha memberikan jawaban yang lebih bijaksana dan bisa diterima oleh mereka. Kalau para ustad dan para ulama berpendapat “haram” mengucapkan selamat natal pada non muslim. Saya kira, pendapat seperti ini menurut hemat saya, mungkin kurang  memperhitungkan dari efek dari  fatwa “haram” tersebut. Jika fatwa itu dipraktekkan oleh orang islam yang kelurganya semuanya mayoritas islam, hal ini tidaklah menjadi masalah. Karena ia masih bisa menghindari untuk tidak mengucapkan selamat natal kepada orang lain. Tetapi persoalan akan menjadi lain jika salah satu keluarga kita ada yang nasroni atau non muslim. Apalagi itu orang-orang terdekat kita; orang tua, kakak, kakek, adik, paman dan kelurga lain  yang hidup dalam satu rumah.

Salah satu anak didik saya bercerita atau lebih tepatnya curhat ke saya tentang masalah ini. Ia menceritakan bahwa  orang tuanya beragama non muslim dan ia sendiri muslim. Orang tuanya  tetap menghormati keyakinannya sebagai seorang muslim bahkan berpesan agar tetap menjalankan ibadahnya dengan taat. Dan orang tuanya juga sering membantunya untuk urusal menjalankan ibadah yang sedang ia jalani, misalnya dengan membantu menyiapkan makan saat sahur dan buka puasa di bulan ramadhan. Mengingatkan untuk sholat, dan juga ikut suka cita jika anaknya merayakan hari raya idul fitri bahkan ikut mempersiapkan segalanya termasuk tidak lupa mengucapkan selamat hari raya idul fitri kepada anaknya itu. Sebaliknya jika orang tuanya merayakan hari raya natal ia juga ikut sibuk mempersiapkan segalanya untuk acara tersebut. Ia melakukannya sebagai wujud ketaatan pada orang tuanya. Namun sejak ada wacana fatwa “haram” tentang memakai atribut natal dan hukum pengharaman mengucapkan selamat natal bagi orang islam ia jadi bingung , bimbang atau lebih tepatnya “Galau”. Karena ia dihadapkan dengan dua pilihan yang sama-sama kurang mengenakkan menurutnya. Bagaimana tidak galau, jika ia memilih untuk tetap membantu orang tuanya mempersiapkan semua kebutuhan perayaan natal termasuk juga mengucapkan selamat natal, ia akan terkena hukum “haram “ bahkan bisa dicap “kafir” seperti fatwa para ustad dan ulama. Tetapi jika ia memilih untuk diam tidak membantu orang tuanya mempersiapkan perayaan natal nanti, akan terkesan kaku dan kurang harmonis hubungan ia dengan orang tuanya. Apalagi saudara-saudara yang nasroni akan berkunjung ke rumahnya untuk merayakan perayaan natal. Apakah ia harus berhijrah ke tempat lain untuk menghindari acara tersebut demi “menyelamatkan” agamanya ? Lalu sampai kapan ia akan terus seperti itu?

Dari cerita murid saya ini saya jadi ingat pendapat Syeikh Dr. Yusuf Al Qaradawi. Ia mengatakan bahwa merayakan hari raya agama adalah hak masing-masing agama. Selama tidak merugikan agama lain. Dan termasuk hak tiap agama untuk memberikan tahni’ah saat perayaan agama lainnya.

Maka kami sebagai pemeluk Islam, agama kami tidak melarang kami untuk untuk memberikantahni’ahkepada non muslim warga negara kami atau tetangga kami dalam hari besar agama mereka. Bahkan perbuatan ini termasuk ke dalam kategoriAl birr(perbuatan yang baik). Sebagaimana firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:

Allah tidak melarang kamu untuk berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yang tiada memerangimu karena agama dan tidak mengusir kamu dari negerimu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil.(QS. Al Mumtahanah: 8 )

Kebolehan memberikan tahni’ah ini terutama bila pemeluk agama lain itu juga telah memberikan tahni’ah kepada kami dalam perayaan hari raya kami.

Apabila kamu diberi penghormatan dengan sesuatu penghormatan, maka balaslah penghormatan itu dengan yang lebih baik dari padanya, atau balaslah penghormatan itu. Sesungguhnya Allah memperhitungankan segala sesuatu.(QS. An-Nisa': 86)

Dari pendapat ini saya memberikan saran kepada murid saya tadi, bahwa ucapan itu tidak apa-apa. Dan silahkan diteruskan membantu orang tuanya mempersiapkan perayaaan natal nanti seperti biasanya. Pesan saya yang terpenting adalah keimanan kita tetap terjaga dan kita mengingkari apa yang mereka yakini selama ini.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun