Syaikh Abdul Aziz bin Baz rahimahullah menjelaskan tentang makna Islam yang artinya sebagai berikut: "Berserah diri kepada Allah dengan mentauhidkan-Nya, dan taat serta patuh kepada-Nya, dengan penuh ketundukan dan perendahan diri" (dilansir dari muslim.or.id). Sebagai Umat Islam sudah seharusnya mengetahui seluk beluk dari agama yang kita anut, tidak hanya karena faktor genetik yang menjadikan kita muslim, dan menganggap agama sebagai status saja tanpa menjalankan perintah dan menjauhi larangan. Sebagian ada juga yang menganggap bahwa seorang dikatakan muslim jika ia sudah membaca dua kalimat syahadat, dan kemudian tidak ada kelanjutan dari pengakuannya tersebut. Hal ini serinng sekali terjadi dalam masyarakat Indonesia yang secara kuantitatif mayoritas merupakan umat muslim, namun tidak semua dari mereka memiliki kualifikasi sebagai seorang muslim sesuai syariat Agama Islam.
Bangsa Indonesia yang notabenenya kaum 'ajami atau bukan bangsa Arab tentunya akan sangat kesulitan dalam memahami Al Qur'an dan hadits yang merupakan pedoman hidup umat muslim yang menggunakan Bahasa Arab. Memahami makna teks-teks berbahasa Arab tidak semudah memahami artikel berbahasa Inggris, apalagi jika hanya bermodalkan kamus bahasa Arab. Karena Bahasa Arab adalah bahasa yang kompleks dimana satu kata asal bisa menunjukkan berbagai makna berdasarkan perubahan yang terjadi di dalam kalimah tersebut, waktu suatu pekerjaan saja sudah membentuk kalimah yang berbeda dalam bahasa Arab misalkan "Nashoro" (sudah menolong), "Yanshuru" (sedang/akan menolong) , "Nashron" (pertolongan). Selain itu, suatu kata dalam bahasa Arab akan memiliki arti yang berbeda jika cara membaca/ memberi harakatnya atau menambah bahkan mengubah hurufnya satu saja maka akan menghasilkan makna yang berbeda misalnya "Qalbun" (hati), sedangkan "Kalbun" (anjing).
Selain Al quran dan hadits, kitab-kitab karangan Salafush shalih yang membantu kita dalam menentukan hukum hukum yang tidak dijelaskan secara rinci pada Al quran dan hadits redaksinya juga menggunakan Bahasa Arab. Maka dari itu, sangatlah penting bagi kita mempelajari ilmu tata bahasa Arab yakni nahwu dan Sharaf agar bisa memperdalam pemahaman kita akan agama Islam yang sering disebut dengan istilah Tafaqquh Fii Ad Diin. Ilmu-ilmu agama lain bisa kita dalami setelah kita benar benar paham akan nahwu shorof, karena pada dasarnya nahwu adalah bapaknya ilmu, sedangkan Sharaf ibunya. Nahwu adalah ilmu yang mempelajari jabatan sebuah kata di dalam bahasa Arab dan mengetahui harakat akhirnya. Sedangkan shorof adalah ilmu yang mempelajari perubahan bentuk kata di dalam bahasa Arab.
Al Imrithi menjelaskan bahwa An Nahwu aula awwalan 'an yu'lama # Idzil kalaamu dunahu lan yufhama (Nahwu itu lebih baik dipahami terlebih dahulu karena tanpa nahwu (kalian) tidak akan memahami Kalam berbahasa Arab khususnya kalamullah/Al Qur'an). Selain makna asli sebagaimana yang telah disebutkan, bait tersebut juga mengandung filosofi dalam bermasyarakat yakni "Lebih baik kita memberikan contoh atau teladan karena ucapan/perkataan yang sifatnya ajakan tanpa adanya contoh tentunya akan sulit dipahami apalagi direalisasikan dalam kehidupan sehari-hari." Memahami sepenggal bait berbahasa Arab seperti ini pun juga tidak mudah jika kita tidak mempelajari ilmu nahwu dan shorof. Apalagi memahami Al Quran dan hadits yang sangat banyak, maka sudah tentu tidak akan bisa jika hanya bermodalkan terjemah.
Selalu mengggembar gemborkan jargon "kembali ke Al Qur'an dan As Sunnah" tanpa mau mempelajari kitab kitab karangan ulama terdahulu padahal sama sekali tidak paham bahasa Arab juga termasuk takabbur. Karena pembahasan dalam Al Qur'an pada umumnya masih mujmal artinya secara gelobal /umum dan perlu adanya qiyas untuk menemukan sulosi dari problematika yang ada di masyarakat modern yang semakin berkembang. Dan hal seperti ini hanya bisa dilakukan oleh ulama yang sudah meenuhi kriteria buntuk melakukan ijtihad, bukan kita orang awam yang sama sekali tidak layak jika menjadi mujtahid kemudian saat ada masalah langsung dicarilkan solusinya dari Al quran dan hadits tentu akan salah kaprah.
Berdasarkan apa yang ada dalam kitab Ihya Ulumuddin, Imam Ghazali juga pernah mengatakan tentang pentingnya belajar bahasa Arab dan nahwu-sharaf, "Sesungguhnya bahasa Arab dan nahwu adalah suatu sarana untuk mengetahui makna dari Al-Qur'an, dan Sunnah Nabi Muhammad SAW. Keduanya bukanlah ilmu-ilmu syar'i, akan tetapi wajib hukumnya mendalami kedua ilmu tersebut. Ma la Yatimmul Waajib Illa bihi Fahuwa Waajib (Sesuatu ini (sesuatu yang (akan) menyempurnakan perkara wajib maka hukumnya juga wajib sekalipun asalnya tidak ada hukum wajib). Karena berdasarkan hadits Rasulullah Saw hukum mencari ilmu adalah wajib, dan untuk mempelajari ilmu-ilmu agama yang lain nahwu serta shorof adalah kuncinya.
Jika seseorang telah memahami ilmu Nahwu-sharaf pun masih bisa terjadi perbedaan pendapat dalam menafsirkan ayat al-Qur'an. Akan tetapi perbedaan dalam hal ini adalah suatu keniscayaan yang telah dijelaskan oleh Allah SWT, karena setiap mufassir tentu memiliki alasan tersendiri yang dapat dipertanggungjawabkan atas pemahaman suatu ayat ataupun surah dalam Al quran. Hal inilah yang sering dijadikan alasan kalangan idealis yang meragukan urgensi mempelajari nahwu Sharaf sebagai sarana Tafaqquh Fii Ad Diin khususnya Al Quran dan hadits, mereka merasa tidak perlu belajar ilmu agama lain karena menganggap keduanya sebagai sumber hukum dan tuntunan hidup yang sangat lengkap, tanpa menyadari kekurangan yang ada dalam diri mereka sebagai kaum 'ajami yang tentunya tidak akan semudah itu dalam memahi teks-teks yang menggunakan bahasa Arab apalagi jika menggunakan kiasan-kiasan yang tidak bisa dipahami secara langsung tanpa mengetahui tafsirnya. Ini bisa terjadi hanya kalau mereka sudah paham betul ilmu tata bahasa Arab yang dasarnya adalah nahwu dan shorof.
Oleh: santri Pondok Pesantren An-Nahdhah Karangtengah-Garu-Baron-Nganjuk)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H