Terima kasih, terima kasih, sekali lagi terima, kasih. Atas recehan yang kalian lemparkan ketika bait-bait puisi itu tengah aku bacakan. Sebab receh-receh itu lebih berarti dari segala tepukan tangan. Sebelum pun setelah selesai kata-kata [puisi] itu aku dongakkan. Berharap nilai-nilai yang terselip di antara kata itu dapat aku serap. Dan aku pun percaya, nilai-nilai itu ada bukan tanpa kontemplasi dan menyita energi orang-orang yang telah mengguratkan aksaranya. Seperti halnya ketika aku dongakkan wajahku ke langit. Berharap ada cahaya yang tertinggal dan bersemayam dalam tubuhku ketika ia menyapa.
Terima kasih, terima kasih, sekali lagi terima, kasih. Sebab barangkali kelak, receh-receh itu akan berganti rupa dalam wajah baru, di lembar-lembar sejarah yang telah kita ukirkan, kekasih. Dan barangkali receh-receh itu pun tak lagi cukup menjadi nilai untuk menggantikannya.
Terima kasih, terima kasih, sekali lagi terima, kasih. Dan barangkali kau memang benar adanya, di mana puisi itu bukan harga mati. Dan barangkali pula ia pun tak mati-mati meski kerapkali orang-orang mencoba mematikannya. Dan aku memang beruntung, sebab kau masih setia menemani. Setidaknya dalam cinta dan rindu yang kau bisikkan ketika aku ngamen puisi. Terima kasih.
Bintaro, 09 November 2012
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H