Mohon tunggu...
Muhammad Thobroni
Muhammad Thobroni Mohon Tunggu... -

Penulis dan Dosen.Aktif mendampingi kegiatan seni budaya, khususnya sastra di perbatasan utara Indonesia. Menulis buku, cerpen, puisi, meneliti,menjadi nara sumber dan juri di berbagai seminar, diskusi, pelatihan dan lomba.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Pulung

22 Maret 2014   16:15 Diperbarui: 24 Juni 2015   00:37 371
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

M. Thobroni

Sebuah kilatan cahaya, dengan penuh percaya diri, menyapaku dalam sunyi. Ketika kududukkan tubuhku di tengah bundaran, di tengah galaunya hati. Saat damai terkubur oleh angkara murkadan persaingan tiada henti.

Cahaya itu, sungguh, tidak terlalu menarik hatiku. Tapi, apa yang tidak menarik, bila hati sedang kacau dan galau? Cahaya itu memaksaku tersenyum kecut, memandangnya hingga tertelan di ujung pandang. Hanya cahaya. Kenapa hanya cahaya yang menyapaku, di saat sunyi seperti ini? Padahal, yang kuinginkan adalah bidadari. Datang dari surga, lalu menyapaku dalam rindu. Atau, seorang permaisuri yang menghiburku. Hingga lapanglah hatiku dari himpitan batu-batu.

Tapi, sekali lagi, hanya sebuah kilatan cahaya. Menambah hatiku jadi galau. Galau, betul-betul galau.Lalu, pulang.

Tapi, tiba di rumah pun tidak membuatku tenang. Ya, cahaya itu masih juga terbayang. Katanya kakek, nenek, bapak dan ibu. Bapak dan ibu hanya tersenyum. Maklum. Mungkin mereka merasa pernah muda, sepertiku. Pasti pernah bermasalah, jenuh, atau jengkel. Tapi kakek tidak dan nenek tidak diam, tidak bungkam. Kata kakek:

“Bersyukurlah. Cahaya itu bukan cahaya sembarang cahaya. Ia adalah tanda istimewa. Tidak semua orang berkesempatan melihatnya. Hanya orang istimewa, dan sedang beruntung saja yang akan disapanya.”

Nenek menambahkan:

““Betul apa kata kakekmu. Pak Dirman, kepala desa kita, malam hari menjelang pemilihan kepala desa, mengaku melihatnya pula. Esok hari, Pak Dirman terpilih dengan selisih angka yang cukup besar. Padahal, kamu tahu sendiri siapa Pak Dirman. Dia orang tak punya, bahkan sehari-hari hanya mengerjakan sawah kakekmu. Siapa sangka dia terpilih sebagai kepala desa? Pasti gara-gara cahaya yang melintas malam sebelumnya, dan terlihat matanya.”

Akhirnya, aku tahu nama cahaya itu. Pulung. Cahaya tadi malam, pulung namanya. Dalam keadaan seperti ini, punya kakek dan nenek seperti kakek dan nenekku, jelas menguntungkan. Tidak banyak orang yang paham istilah aneh seperti itu. Tapi, penjelasan itu membuatku makin galau.

Pulung. Untuk apa cahaya itu menyapaku? Bukankah ia hanya menyapa untuk para pencalon kepala desa? Atau, mungkin mereka yang berebut jabatan penting. Tapi, aku tidak sedang mencalonkan diri sebagai kepala desa. Tidak pula berebut jabatan penting. Atau, jangan-jangan ada yang mencalonkan aku jadi kepala desa, sembunyi-sembunyi. Mustahil. Bukankah pemilihan desa sudah berlalu. Dan, bagi yang ingin, dan berambisi jadi kepala desa, harus rela menunggu, setidaknya empat tahun lagi.

Berebut jabatan penting? imposible. Berebut jabatan di mana? Aku freelance. Artinya bebas, tidak jadi pegawai, di manapun. Aku bos, sekaligus pegawai. Aku penyuruh, sekaligus pesuruh. Aku hanya penulis lepas. Menulis opini, cerpen, sesekali. Seringkali berita, untuk beberapa media. Ya, sambil berjuang menyelesaikan kuliah.

Kuliah yang sering menjemukan. Rutinitas kampus-perpus-rumah, selalu memusingkan. Dan membuat halaman demi halaman, lalu mengirimnya ke media cetak, selalu menghiburku. Sesekali, redaktur media-media itu membalasku, dalam bentuk lain. Bukan halaman-halaman itu. tapi, dalam bentuk wesel, dengan angka-angka di atasnya. Sebagian halaman-halaman itu, memang dikembalikan. Tapi, tak apa.

Kubayar SPP kuliah sendiri. Tak perlu lagi menunggu jatah orang tua. Sesekali, mengajak teman dan sahabat-sahabat makan bersama. Cukup di warung koboi, dengan segelas es teh atau jahe panas. Sambil ngrumpi negara yang makin kacau, dan pemimpin yang semakin tak jelas. Atau, sesekali, ngomong masalah Ronaldo, Beckham, atau menyesali nasib sepak bola dalam negeri. Cukup santai, memang.

Status single, karena kuliah belum selesai, membuatku cukup santai. Makan dan tinggal bersama orang tua, plus kakek-nenek yang cerewet. Santai. Tidak terbebani masalah anak, istri, atau tetek bengek masalah keluarga lainnya.

Tapi, aku tetap heran. Kilatan cahaya, ya, kilatan cahaya itu kembali dalam bayangku. Untuk apa ia datang menyapaku? Bila ia datang dengan segepok rizki, kenapa tidak ditumpahkan saja di depan rumahku? Atau, di halaman panti asuhan. Atau, di kampung-kampung kumuh. Atau, di penginapan gelandangan. Atau, di mana saja, di tempat orang-orang yang membutuhkan. Apalagi, semua orang sedang butuh uang. Akibat kenaikan harga. Semua. Atau, di lokasi bencana alam. Bukankah sedang terjadi longsor, gunung meletus, atau kebakaran? Mungkin korban di sana sangat membutuhkan. Sekali lagi, jika kilatan cahaya itu datang dengan segepok rizki.

Jika tidak ingin seperti itu, bukankah ia bisa langsung datang, menemuiku. Mengabarkan, dengan terus terang. Membahas apa adanya. Tidak perlu dengan isyarat, tanda, simbol. Bikin bingung. Membuat galau.Bukankah ia bisa langsung berkata:

“Maaf, kawan. Aku sengaja datang menemuimu, untuk sebuah kabar gembira. Kamu akan mendapat tawaran bekerja sebagai redaktur tetap, di sebuah kantor harian. Karena itu, sebagai rasa syukur kamu harus mengadakan syukuran. Undanglah abang becak, anak-anak yatim, kaum miskin kota, para pengamen jalanan…”

Jika seperti itu, aku pasti tidak bimbang. Pasti kusambut gembira. Kupenuhi permintaannya. Bahkan, tidak saja segelintir anak yatim, anak jalanan, kaum miskin kota. Tapi mungkin ratusan, bahkan ribuan mereka kudatangkan. Tidak perlu diberitakan. Apalagi, ditampilkan di layar kaca.

Tapi, kenapa ia hanya menyapa, dengan raut wajah yang tidak jujur?

Atau, barangkali ia ingin mengatakan hal yang berbeda dengan ramalan orang-orang tua jaman dulu. Barangkali ia bukanlah tanda istimewa bagi yang melihatnya, lalu esok harinya akan mendapatkan keberuntungan. Mungkin ia, cahaya itu, ingin berpesan agar aku hati-hati karena akan mengalami sebuah kecelakaan di dekat bunderan itu. Aku pasti akan bersuka hati menyambut pesannya. Dan aku akan berjalan dengan perlahan di sepanjang jalan, menengok seribu kali sebelum menyeberang jalan, atau menyewa satu peleton polisi plus body guard untuk mengawalku. Tapi ia tidak melakukannya.Dan, ia muncul tiba-tiba, mungkin dari persembunyiannya. Lalu mengagetkanku dalam galau.

Dan hingga senja tiba,pulung itu masih menggelantung, di awang-awang pikirku. Di bunderan, senja hari itu, ketika dengan tiba-tiba seorang gadis membangunkanku dari lamunan panjang. Ketika itu belum ada sapa, apalagi tanya. Masing-masing kami berdiam, membisu. Seperti batu-batu yang berderet-deret. Lalu panas dan hujan akan meleburnya, menjadi debu-debu.

Tapi tak lama. Yang beku segera cair. Seiring pamitnya senja petang itu. Gadis itu, rambutnya sebahu dengan raut muka ayu. Entah siapa ia, tidak kukenal sebelumnya. Dan setelah itu, ia memintaku untuk mengantarnya, pulang. Aku tidak berpikir panjang, apalagi bertanya ulang. Seorang gadis ayu minta diantar, kenapa harus menolak?

Dengan becak, kukirimkan gadis itu kepada orang tuanya. Keduanya tersenyum, menyambutku dengan penuh rindu. Seperti seorang mertua yang sedang menunggu pangeran, calon menantu. Dan gadis itu mengulum senyum, dengan belaian sayang kedua orang tuanya. Wajahnya menunduk, mungkin menungguku datang memeluk.

Hatiku lapang. Dengan wajah terang, bak bintang-bintang, aku berpamitan.

Kuketuk pintu rumah, keras-keras. Hari sudah sunyi. Meski belum larut malam. Suasana hening. Seperti menyediakan diri, menyambut kehadiran seorang pangeran yang sedang dirundung cinta.

Bapak membuka pintu, dalam diam. Tapi, raut wajahnya cerah. Sebagaimana para pejabat penerima dana hibah. Menyeretku ke ruang tamu, dan menyerahkan secarik kertas bertuliskan angka-angka. Sebuah wesel dari Rakyat Berdaulat.

Senyum menggelantung di bibirku. Lalu, kulihat ibu keluar bersama kakek dan nenek. Tangan ibu memegang kue dengan lilin di atasnya, bertuliskan: Selamat Ulang Tahun ke-24, semoga cepat lulus dan dapat istri. Kulihat malaikat bergelantungan, di sekitarku.

“Inikah kabar yang ingin kausampaikan, pulung?” pikirku, ketika itu.

***

Itu dulu. Ketika aku masih kuliah di Yogya timur. Dan, gadis itu kuliah di Yogya barat. Saat itu, lagu paling populer adalah Ada Apa dengan Cinta-nya Melly Goeslow. Salah satu lirik lagu itu berbunyi: bila bumi terbelah dua, bila kita masih saling berpeluk..

Dulu, terjadinya kisah itu, aku masih seorang pengarang amatir. Yunior, kata seorang seniorku, yang kenyang makan asam garam,telah malang melintang dengan segudang penghargaan.Menyapa angin di bunderan, perempatan jalan, bahkan di lorong-lorong perkotaan adalah kegiatanku sehari-hari. Tentu, untuk sebuah “pulung”. Lalu kujadikan sebagai ide tulisan. Kumasukkan dalam amplop. Amplop itu kukirim ke sebuah harian, yang telah mengisi hari-hariku dan menghibur hatiku dari segala rasa rindu. Dan, setelah itu, kutemukan pulung-pulung lain.

Saat ini, aku adalah redaktur budaya, di harian Rakyat Berdaulat, yang pernah membuatku marah gara-gara puluhan tulisanku kembali. Ketika itu, aku selalu bilang kepada teman-temanku: “harian itu menyapaku dalam rindu. Dan suatu ketika, aku pasti akan membalas kerinduannya.”

Kini, gadis itu sudah menjadi istriku. Perempuan ayu yang telah memberiku anak-anak lucu, yang laki-laki ganteng dan yang perempuan seperti ibunya, wajahnya ayu.

Seorang istri yang ayu, anak-anak yang lucu-lucu, bahagia dalam sebuah keluarga. Dan, aku pun tersenyum malu. Ketika bersama perempuan ayu, duduk bersanding di sebuah bangku, menyambut datangnya sebuah kilatan cahaya:pulung.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun