Mohon tunggu...
Muhammad Thobroni
Muhammad Thobroni Mohon Tunggu... -

Penulis dan Dosen.Aktif mendampingi kegiatan seni budaya, khususnya sastra di perbatasan utara Indonesia. Menulis buku, cerpen, puisi, meneliti,menjadi nara sumber dan juri di berbagai seminar, diskusi, pelatihan dan lomba.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Kucing Hitam

8 Februari 2014   13:09 Diperbarui: 24 Juni 2015   02:02 73
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

M. Thobroni

Pernah menabrak kucing? Apalagi, kucing hitam? Ujar Mbah Karto, engkau harus hati-hati. Menabrak kucing, ujarnya lagi, apalagi sampai mati, adalah isyarat akan terjadi kecelakaan bagi orang yang menabraknya.

Suatu saat, kita asyik di atas motor, atau mobil. Mungkin, dengan kawan, atau pacar. Atau, barangkali, bercengkerama bersama keluarga, mengunjungi handai tolan, atau pergi rekreasi. Tiba-tiba, melintas seekor kucing, mungkin hitam warnanya. Pasti, kita terkejut. Tak sempat menginjak rem. Atau, rem mungkin terinjak. Tapi, blong. Dan, tertabraklah kucing hitam itu.

Bila seperti itu, berarti itu akan diiringi musibah bagi penabraknya. Setidaknya, demikian kata Mbah Karto, kakek kami. Mbah Karto pemegang teguh satu tradisi. Tradisi yang turun menurun. Terwarisi dari nenek moyangnya. Apalagi, nenek moyangnya termasuk bergaris dan ber-trah darah biru.

Mulanya, kami tak begitu percaya. Kami, khususnya aku dan kakak, adalah mahasiswa. Mahasiswa dianggap kaum terdidik. Kami tidak dididik untuk percaya hal seperti itu. Irrasional, kata mahaguru kami. Untuk itu, setiap tindakan kami, seharusnya logis dan rasional. Kami terbiasa skeptis, bahkan kadang apriori, atas satu masukan dari orang lain. Apalagi, dari orang-orang tua, seperti mbah kami itu.

Apa yang tidak disampaikan generasi tua kepada kaum muda selain mitos-mitos? Kata-kata orang-orang tua, biasa mengandung satu kebenaran. Tentu, menurut ukuran mereka. Ukuran yang didasarkan pada kebenaran jaman, jaman mereka. Kata-kata, bagi mereka, sudah seperti fatwa, bahkan sabda. Tak heran, bila orang-orang tua sering marah-marah, ngotot, tak mau disalahkan. Apalagi oleh anak-anak, kemarin sore dan bau kencur. Pantang bagi orang-orang tua yang lebih berpengalaman, untuk takluk atas pendapat anak-anak.

Demikianlah. Mbah Karto tetap ngotot, bahwa isyarat-isyarat seperti itu selalu benar, menjadi kenyataan. Selalu, awalnya, kami acuh kata-katanya. Tidak mungkin, dan tidak niscaya. Apa yang hendak dikatakan dosen, teman-teman mahasiswa, bila melihat kami percaya hal-hal seperti ini?

Lebih tidak mungkin lagi, karena keluarga kami dianggap keluarga religius. Keluarga dengan segenap aturan-aturan baku sebuah agama. Ketat, rapat. Pantangberbuat dosa, setitik pun. Apalagi, dosa-dosa besar. Andai pun ada yang demikian, pasti segera minta maaf, atau mohon ampun, kepada-Nya. Kami terdidik dengan surga dan neraka. Terbiasa dengan malaikat dan setan.

Membaca ayat suci, rutin antara maghrib dan isya’. Seminggu sekali, kami mengundang ustadz Joko Pitoyo, muballigh muda di kota kami. Menurut beliau, percaya hal-hal seperti itu dilarang agama, tentu agamanya. Apa yang terjadi, bila beliau mengetahui, bahwa kami percaya cerita Mbah Karto? Mungkin, ceramah berjam-jam, mulai dari surga dan neraka yang terbentang, hingga bidadari yang menghuni surga, atau ular berbisa yang menghuni neraka. Padahal, seringkali, kami tidak mengerti, bahkan sulit sekali membayangkan. Wujud surga itu, wujud neraka itu. Bidadari? Mungkin, seperti artis-artis di layar televisi.

Tapi, sekali lagi, Mbah Karto tidak pernah mau tahu. Alasan, atau argumen apapun. Apa yang kami katakan, dan juga ceramah ustaz, menurutnya, belum pernah terbukti. Tapi, pesan orang-orang tua, ujarnya lagi, pernah nyata, di depan matanya.

Untuk itu, dia tetap ngotot dengan ceritanya. Mungkin, pesan yang diwariskan untuk kami, orang-orang muda. Seperti biasa, karena watak kerasnya, tak ada dari keluarga ini yang berhasil membantahnya.

Ketika kami tidak segera mengiyakan, beliau agak marah. Kami dianggap meragukan pesannya. Bahkan, kami dituduh tidak hormat lagi pada orang-orang tua, kepada nenek moyang. Wajahnya tegang, seperti akan berangkat perang. Lalu, beliau bercerita lagi:

Si Darmin, paklik kalian itu, pernah menabrak kucing. Hitam, warnanya. Saat itu, dia lewat jalan dekat lapangan. Malam, agak kelam. Hanya temaram bulan, yang menyapa. Tapi, dedaunan menutup terang jalan. Tepat, ketika hewan hitam itu menyeberang. Hanya jerit kematian. Mungkin tubuh hitamnya hancur, oleh gilasan roda kendaraan. Itu berangkatnya.

Kalian ingin tahu apa yang terjadi? Sepulangnya dari tujuan, mobilnya ditabrak bus, dekat alun-alun kabupaten. Itulah terakhir kali dia hidup di dunia ini.

Si Darmin pergi untuk tujuan baik. Mungkin dia disambut bidadari, di surga. Dia pergi untuk menjemput Mbah putri. Mbah putri pergi mengaji, bersama kelompok pengajiannya, di kota. Biasanya, bapak kalian yang menjemput mbah putri. Tapi bapak kalian berhalangan, tiba-tiba.

Dari kantor, dia memberi kabar, pesan. Si Darmin harus menggantikan tugas menjemput mbah putri. Tapi, Darmin pergi, entah kemana. Tidak seperti biasa, Darmin tidak berada di rumah. Kata Siyem, pembantu kalian, Darmin pergi ke Kedungpring, bersama Karman, teman sekampung. Hanya itu pesan Darmin ke Siyem. Dia tidak berpesan lain. Siyem tidak tahu, untuk keperluan apa Darmin pergi ke Kedungpring.

Darmin, akhirnya datang, ketika isya’ menjelang. Ibumu menyuruhnya menjemput mbah putri. Tepat isya’, ketika Darmin telah berangkat, mbah putri tiba. Mbah putri datang bersama rombongan pengajian. Waktu itu, semua gembira sekaligus menyesal. Gembira karena mbah putri tiba, menyesal karena Darmin terlanjur pergi.

Ketika itu, semua diliputi pikiran-pikiran, tidak menentu. Semua menyesal, kenapa tidak sabar menunggu, hingga mbah putri datang? Bagaimana bila terjadi apa-apa dengan Darmin? Waktu itu musim perampokan dan penghadangan. Apa yang terjadi, jika tiba-tiba ada perampok mencegat Darmin? Mungkin Darmin menantang, dan melawan. Saat itu tidak ada keraguan, Darmin pasti menang. Dia jago silat, murid kebanggaan Kiai Sholeh, guru silatnya.

Tapi, segera was-was lain datang. Bagaimana bila mobilnya selip, lalu masuk sungai, atau jurang, atau mencium pohon, atau dihantam tronton dari belakang? Pikiran-pikiran itu menghantui semua, melayang bersama mimpi-mimpi.

Dan, pagi itu, bapak kalian datang. Dari kantor. Datang pula kabar lain. Kabar duka. Tentang kecelakaan Darmin. Mobil rusak parah, Darmin meninggal dunia. Saat itu juga. Dan jasadnya dibawa ke rumah sakit. Orang-orang menemukan tubuhnya terhimpit, di antara bangkai mobil yang dihantam bus.

Bapak kalian tidak sempat istirahat. Semua langsung berangkat ke rumah sakit, mengambil jenazah Darmin.

Sampai di sini, kalian masih tidak percaya dengan pesan orang tua?

Kejadian itu melahirkan trauma. Penyesalan, panjang. Tapi, ada kabar penting setelah itu. Seseorang mengatakan, mobil Darmin menabrak kucing, hitam. Pemberi kabar itu, datang lalu pergi, menghilang, mungkin pulang. Semua langsung percaya, bahwa kecelakaan Darmin disebabkan oleh kejadian sebelumnya. Dia menabrak kucing, hitam.

Lalu, ketika kami lihat Mbah Karto berhenti bercerita, mungkin habis, atau tidak dilanjutkan, wajahnya heran. Heran dengan raut muka kami. Katanya, “Kalian tidak percaya?”

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun