Mohon tunggu...
Muhammad Thobroni
Muhammad Thobroni Mohon Tunggu... -

Penulis dan Dosen.Aktif mendampingi kegiatan seni budaya, khususnya sastra di perbatasan utara Indonesia. Menulis buku, cerpen, puisi, meneliti,menjadi nara sumber dan juri di berbagai seminar, diskusi, pelatihan dan lomba.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Menjelang Pulang

3 Maret 2014   01:34 Diperbarui: 24 Juni 2015   01:18 145
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

M. Thobroni

Akhirnya selesai juga. Lepas. Puas. Lulus kuliah setelah mengenyam bangku universitas selama tujuh tahun jelas bukan prestasi membanggakan, terutama bagi keluarganya. Tapi dia, tetap saja bangga. Dan kini, waktunya untuk kembali. Kembali ke rumah, mengurus kampung halaman sendiri.

Menjelang pulang, dia berencana menyempatkan pamitan, kepada ibu dan bapak kost, teman kuliah, teman organisasi, tetangga kanan-kiri, dan segenap relasi, yang dikumpulkannya satu demi satu, sejak kedatangannya di kota ini. Mula-mula didatanginya bapak dan ibu kost.

Mereka adalah pemilik empat rumah dalam satu kompleks. Dua rumah untuk kost para perjaka, dan dua rumah lagi ditempati oleh para gadis. Bapak kost orangnya kalem dan –kata gadis-gadis yang kos di rumah sebelah- arif bijaksana. Sebaliknya dengan beliau, ibu kost dianggap cerewet dan bahkan bawel. Sering marah-marah, padahal tak ada angin tak ada hujan. Tapi di matanya, ibu kost adalah wanita yang menggembirakan. Sayang, oleh beberapa teman pria satu kost, ibu kost dianggap sangat menggairahkan.

Tentu saja karena ibu kost tidak terlalu tua, meski telah punya tiga anak, dua di SMU dan satu di SLTP. Berbeda dengan para pria di kompleks kost ini yang menyebut ibu kostSTNK, setengah tuo ning kenceng (setengah tua tapi kencang), ia justru menghormatinya. “Ini pelecehan,” katanya, ketika pertama kali kata “STNK” dikatakan teman-temannya, sambil tertawa, ngakak.

Bapak dan ibu kost sedang duduk di kursi panjang, ketika dia datang, hendak pamitan. Dia agak sungkan. Seperti hamba yang berdosa pada tuannya. Tapi dia adalah pria yang teruji. Jangankan dua orang, bapak dan ibu kost, bahkan sekian ratus mahasiswa baru pernah terpana –takut-takut- sewaktu dia berorasi, dalam acara “pengenalan kampus” untuk mahasiswa baru. Pertama-tama, bapak dan ibu kost yang menyapanya, menanyakan kepulangannya nanti.

“Ya, sekalian mohon pamit. Mohon maaf bila selama ini ada salahnya. Mungkin sering membuat bapak dan ibu kesal. Sering pergi dan jarang tidur kost. Sesekali pulang, sambil membawa pulang teman, tak jarang perempuan. Atas itu semua, sekali lagi, saya mohon maaf yang sebesar-besarnya,” katanya. Tidak berani dia menatap wajah bapak dan ibu kost, meski dia terbiasa bertatap mata dengan seribu serigala dan singa.

“Tidak apa. Kami paham dengan sifat anak muda, jarang ada yang mengerti keinginan kami, kaum tua. Memang beda jaman dulu dengan sekarang. Dulu, anak muda bangga jika bisa memenuhi keinginan dan permintaan orang tua. Sekarang, anak muda mudah protes, otoriter katanya. Bahkan, para pakar ikut-ikutan menyalahkan orang tua. Jangan terlalu keras mendidik anak, kata mereka. Tapi percayalah, kami berdua bermaksud baik kepada kalian yang tinggal di kompleks ini. Bukankah begitu, nak?” Ibu kost menutup sabdanya dengan kata tanya. Ia seperti menunggu, ingin mendapatkan dukungan.Bapak kost hanya tersenyum, sesekali menganggukkan kepala, masih seperti biasa, kesan arif dan bijaksana terpancar di wajahnya. Bapak kost seperti ingin memberi kesempatan perempuan yang ada di sampingnya untuk berbicara panjang lebar. Bahkan, bapak kost hanya berkata “selamat jalan dan hati-hati di jalan”, hingga dia mengayunkan tangan kepada bapak dan ibu kost, jabat tangan yang terakhir menjelang pulang.

Dari bapak dan ibu kost, dia menuju rumah pertama, paling dekat dengan rumah tinggal bapak dan ibu kost, bahkan berdampingan. Ia agak ragu, sebenarnya. Jam-jam seperti ini adalah waktu penghuni rumah ini pergi kuliah, menuntut ilmu katanya. Entahlah, soalnya kadang-kadang, ada juga yang dari penghuninya yang pergi berhari-hari, dan membuat ibu kost uring-uringan sehari penuh. Ibu kost wajar uring-uringan, pasalnya pernah ada anak kostnya yang berhari-hari tidak pulang, dan beberapa bulan setelah itu perutnya menggelembung seperti bola habis dipompa. Oleh sebab aib yang pernah terjadi itu, ibu kost tidak mau kecolongan lagi. Jam kunjung dan pergi keluar kompleks kost diterapkannya sangat ketat, khususnya untuk para gadis. Entahlah, kenapa para pria di tempat ini tidak mendapat perlakuan seketat para gadis, padahal kelakuan sebagian mereka tidak jauh berbeda.

Agak lama dia menunggu, sebelum wajah berpipi lesung keluar dari balik daun pintu. Tumben si pipi lesung ini di kost, biasanya dia salah satu penghuni kost yang paling sulit ditemui. Beberapa tamu mencarinya, sesekali perempuan, seringkali laki-laki. Sebagian dari tamu-tamu itu ingin pinjam catatan kuliah, sebagian lainnya ingin ngrumpi, sebagian lainnya entah ingin apa. Tapi seringkali tamu-tamu hanya gigit jari, pulang dengan tangan hampa.

Dia agak heran melihat wajah di balik pintu. Meski wajah di balik pintu itu tersenyum, dan selalu tampak tersenyum, dan mungkin itulah yang menyebabkan banyak tamu mencarinya, tapi wajah berpipi lesung itu tidak dapat menyembunyikan bengkak-bengkak kecil di sekitar matanya, bahkan seperti sembab menahan air mata yang hendak tumpah.

Melihat kondisi perempuan muda di depannya itu, dia langsung menawarkan jabat tangan, hendak berpamitan. “Langsung saja, saya ingin pamitan. Mohon maaf, bila selama berteman dengan kalian, banyak salah yang saya lakukan. Salam juga untuk teman-teman yang lain.” Katanya.

Sebelum dia betul-betul memalingkan tubuh, dan pergi dari tempat itu, wajah berpipi lesung berucap, “Maafkan saya juga, tapi saat ini saya betul-betul tidak dapat berlama-lama di luar kamar, saya ingin menyendiri. Berhati-hatilan di jalan, dan salam untuk keluargamu di rumah.”

Jika tidak betul-betul heran dengan kata-kata perempuan muda berpipi lesung, dia pasti sudah menghentakkan kakinya meninggalkan tempat itu. Apalagi dia seperti melihat beban penderitaan yang sangat berat sedang diderita oleh perempuan muda di depannya. Naluri solidaritas sosialnya bangkit seketika. Tapi, dia mengurungkan niatnya untuk bertahan. Apa yang bisa diperbuatnya terhadap perempuan muda itu? Selain dia memang tidak terlalu akrab dengan perempuan muda berpipi lesung itu, apakah keinginannya untuk membantu meringankan penderitaan perempuan muda itu tidak justru membuatnya tersinggung?

Sejurus berlalu, ia memastikan langkah menuju sebuah warung. Tepat di depan kostnya. Mbak Minten, nama pemilik warung itu. Suaminya tinggi besar. Anaknya sudah tiga. Paling sulung masih SLTP, nomor dua masih SD, dan paling bungsu masih sering digendongnya.

Bila pagi tiba, warung itu menyediakan nasi kuning. Tapi, penjaganya ibu tua. Entah siapa dia: ibu atau mertua Mbak Minten. Tubuhnya tambun. Mirip presiden Indonesia, sekarang ini. namun, ibu tua penjaga warung itu sangat lincah. Bila pembeli atau pelanggan datang, tanpa banyak tanya segera membungkus nasi, dengan racikan seperti biasa. Tangannya terampil memenuhi permintaan pembeli atau pelanggan. Sesekali, ada pembeli atau pelanggan yang minta tambahan menu: tempe atau tahu goreng. Tentu, dengan menambah rupiah untuknya.

Bila siang menjelang, Mbak Minten sudah mengganti penggunaan warung itu. Kadang-kadang, suaminya ikut membantu. Mengangkat menu, atau sekadar air satu ember. Menu warungnya, mirip rumah makan padang. Ada sedikit bedanya. Kadang-kadang nasinya gosong, atau habis. Dan untuk itu, pelanggan atau pembeli harus rela menunggu, atau kembali lagi, nanti.

Ke Mbak Minten sekeluarga, dia ingin pamitan sekaligus minta maaf. Dia pernah jengkel dengan Mbak Minten, dan juga seorang keponakannya. Dia dituduh belum membayar makan, sekaligus belum mengembalikan piring dangelasnya. Dia, dan juga beberapa teman, sering membawa makan ke kost. Tentu, dengan pertimbangan lebih nyaman, sambil nonton TV. Berbeda dengan di warung, di pinggir jalan, terbuka,

Saat itu bulan puasa. Dia duduk di beranda. Bersama beberapa temannya. Datang Mbak Minten, beserta keponakannya. Menurut Mbak Minten, dia belum membayar makan dan minum, tiga hari sebelumnya. Dan, juga piring dan gelas, belum dikembalikan. Dia berpikir, beberapa hari, lebih seminggu, dia sibuk di kampus, dan juga kegiatan luar kota. Bagaimana mungkin tiga hari sebelum itu, dia makan di warung Mbak Minten. Dua minggu sebelumnya, mungkin ya.

Ketika itu, piring dan gelas, tertinggal di warung sebelahnya. Maklum, sekaligus, membeli minuman berenergi. Saat itu, waktu sahur. Agak terburu, dia langsung pulang, tidur lagi. Dia dibangunkan temannya. Piring dan gelas, masih di warung. Dia segera bangkit, dan menuju warung. Tapi, piring dan gelas itu sudah tiada di tempatnya. Kata penjaganya, sudah dikembalikan teman yang membangunkannya. Ya, sudah. Akhirnya, dia menuju warung Mbak Minten. Membayar makan, dan juga minum. Hanya ada keponakannya. Sedang membersihkan warung, dan juga mengangkut beberapa barang ke dalam rumahnya. Saat itu, uang bayar makan, seingatnya, diserahkan kepada keponakan Mbak Minten.

Tapi, bila Mbak Minten dan keponakannya datang, menagih uang makan danminum, dan waktunya tiga hari sebelum itu, pasti salah. Tapi, dia tidak ingin membuat malu tamu. Saat itu menjelang lebaran, dan warung Mbak Minten tampak tutup. Mungkin, dia butuh uang. Untuk persiapan lebaran. Apalagi, suaminya seperti seorang pengangguran. Andaipun kerja, entah kerja apa, dan di mana. Ah, peduli amat, ketika itu.

Ditanyanya, berapa rupiah untuk membayar makan, minum, dan juga piring dan gelas –akhirnya diketahui hilang tak jelas rimbanya? Setelah disebutkan rupiahnya, dia memberikan uang kepada teman, untuk dibayarkan. Dia sendiri terburu-buru, ada acara di Jalan Kaliurang. Konon, undangan evaluasi, entah kegiatan apa.

Dan menjelang pulang ini, dia merasa harus meminta maaf. Meski, dulu, sebelum pulang lebaran, dan setelah lebaran, dia sudah bermaaf-maafan. Dia sudah berada di depan mereka -Mbak Minten beserta keluarga, mungkin juga beberapa tetangga. Kepada mereka dia berpamitan. Bersalaman satu per satu, meminta kerelaan. Mereka, semua, tersenyum, melepaskan kepulangannya. Dia lega. Puas. Bebas dari satu beban. Beban yang, mungkin saja, membuatnyatidak tenang, di kampung nanti.

Lepas dari Mbak Minten sekeluarga, dia segera menuju kost. Belum memutuskan, apakah akan menuju teman-temannya, ataukah ke tempat dosen-dosennya. Tapi, berapa banyak teman dan dosen yang harus ditemuinya? Berapa lama waktu yang akan dihabiskannya, untuk itu semua? Pasti hingga seminggu lagi, dia belum jadi akan pulang. Dan, kepulangan, pasti seperti yang sudah, sering tertunda. Dia memutuskan, akan membeli HP, membuka email, dan mencetak kartu lebaran saat hari raya tiba, setelah di kampung nanti. Dia anti itu semua, sebelumnya. Tapi, dia ingin menyapa semua. Hingga tidak ada yang terlewati, dan terlupa. Satu pun. Lewat SMS, lewat email, dan kartu lebaran, dia akan mengucap dan memohon maaf. Tidak perlu bersalaman, tidak pakai pelukan.

Dia memutuskan pulang, sekarang.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun