Mohon tunggu...
Thobib Al-Asyhar
Thobib Al-Asyhar Mohon Tunggu... -

Seorang penulis, peneliti, dan dosen luar biasa di PPs Universitas Indonesia. Sering mengisi seminar, diskusi, dan workshop tentang keremajaan, kepenulisan, psikologi Islam, dan isu-isu pemikiran keislaman.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Tawa dan Jiwa Merdeka

20 Agustus 2016   06:55 Diperbarui: 20 Agustus 2016   10:36 43
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Perayaan 17-an telah usai. Berbagai pesta rakyat digelar. Lomba-lomba unik yang tidak ditemukan di belahan dunia lain diselenggarakan. Mulai dari pejabat tinggi hingga rakyat jelata menikmatinya. Berbaur menjadi satu. Tertawa bersama. Foto dan selfie bersama, lalu diaplot di media sosial dan dikomentari banyak orang. Intinya, hari kemerdekaan diisi oleh publik kita dengan penuh tawa dan canda.

Pertanyaan yang muncul kemudian adalah, cukupkah dalam menyambut hari kemerdekaan ini diekspresikan dengan banyak tawa? Bukankah banyak tawa juga bisa jadi sumber penyakit? Berapa banyak dari kita yang merenungi arti dari kemerdekaan itu sendiri? Jangan-jangan hari kemerdekaan yang setiap tahun menyapa kita hanya dilewatkan dengan “gebyar” tawa.
Bahkan, sesi upacara pagi juga sering tak lepas dari tawa. Lihatlah barisan belakang dari upacara-upacara di instansi-instansi pemerintah sering terdengar suara “cengengesan” saat pembina upacara meminta peserta untuk mengheningkan cipta. Yang lebih menyedihkan lagi saat petugas memanjatkan doa untuk para pahlawan kita juga mereka tetap tertawa-tawa, sambil foto selfie dan bermain smart phone untuk menampilkan foto narsisnya! Bangga pula!

Dalam sebuah hadits Nabi disebutkan: janganlah banyak tawa, karena hal tersebut akan membuat hati mati (HR. Tirmidzi). Secara psikologis, tertawa merupakan salah satu bagian dari tabiat manusia. Bahkan Nabi sendiri pun dalam beberapa kesempatan juga tertawa atau membuat sahabatnya tertawa. Tertawa merupakan slah satu bentuk ekspresi bahagia karena adanya hal yang lucu atau menggelikan. Namun menjadi masalah ketika tawa itu muncul dari keburukan orang lain. Banyak dari kita menertawakan kelemahan atau keburukan orang lain. Jika hal ini menjadi tradisi kita, maka pesan nabi tersebut dapat dipahami bahwa banyak tawa menjadikan hati kita mengeras atau bahkan mati. Dengan banyak tawa atau menertawakan keburukan orang lain menjadikan jiwa yang lemah, lupa akan keburukannya. Lupa akan dosa-dosanya.

Jiwa Merdeka

catatan penting dari tulisan ini adalah bahwa saya tidak melarang kita untuk tertawa. Tertawa adalah fitrah. Tertawa adalah ekspresi jiwa. Terus apa hubungannya dengan jiwa merdeka? Ya, poin penting dari artikel ini adalah ingin menggali seberapa merdeka-nya jiwa kita saat kita telah memasuki usia 70 tahun kemerdekaan dari kolonialisme (17-8-1945). Jangan-jangan tawa kita yang banyak dalam keseharian kita adalah cermin dari ketidakmerdekaan jiwa kita. Yaitu jiwa yang merdeka atau bebas dari keangkuhan, bebas dari perasaan minder, bebas dari ketergantungan pada orang lain, bebas dari rasa iri, bebas dari riya’ (pamer), dan lain sebagainya. Dengan banyak tawa yang belakangan menjadi fenomena kita melalui media sosial dengan gambar-gambar lucu (meme), hanya menjadi kompensasi kekerdilan jiwa kita saat dunia melaju kencang atas berbagai perubahan.

Secara psikologis, seseorang yang mampu memerdekakan jiwanya memiliki cara berpikir bahwa kesuksesannya ditentukan oleh diri sendiri. Ia berani bertumpu pada kemampuannya. Berani mengambil resiko dengan melakukan sesuatu yang dianggapnya benar. Bukan hanya tampilan luar seolah-olah tidak berdaya, sementara ia menikmati ketidakberdayaannya. Contoh yang paling sering ditemui adalah banyaknya pengemis di sekitar kita, sementara mereka memiliki tubuh yang kuat untuk bekerja. Demikian juga banyak PSK (Pekerja Seks Komersial) yang pura-pura tak mampu melawan kehendak nafsu laki-laki, sementara iapun menikmatinya. Dan banyak lagi contoh orang yang tak mampu memerdekakan dirinya namun menikmati kondisinya. Karena sesungguhnya ia telah menjual kemerdekaannya kepada rasa takut dan kegagalan.

Satu hal penting bagi kemerdekaan jiwa seseorang terletak pada sudut pandangnya tentang lehidupan ini. Sekalipun terdapat moral dan etika yang membatasi kemerdekaan manusia, namun sebenarnya cara pandang dan perilaku etik adalah faktor kunci kemerdekaan jiwa manusia. Tanpa ada anutan moral dan etika, manusia menjadi tidak merdeka dan diperbudak nafsu keduniaannya.

Imam Al-Ghazali dalam kitabnya Kimiya Al-Saádah membagi sifat manusia menjadi tiga, yaitu: pertama, sifat kebinatangan (bahimiyah). Pekerjaan binatang adalah makan, minum, hubungan seksual, tidur, dan bertengkar untuk mempertahankan hidup. Kedua, sifat setan (syaithaniyyah). Pekerjaan setan adalah berdusta, menipu, memfitnah, iri dan dengki. Ketiga, sifat malaikat (malakutiyyah). Dari ketiga sifat dalam diri manusia itulah salng mempengaruhi, mana yang paling kuat. Bagi yang memiliki jiwa merdeka maka tarikan sifat malaikat akan lebih besar. Sedangkan sifat binatang dan setan dapat ditekan dan dikendalikan. Pertanyaannya adalah, apakah jiwa kita sudah merdeka dari kedua sifat pertama?

Dalam menjalani hidup, kita dituntut menentukan sikap untuk segera memilih sifat mana yang perlu dikembangkan yang ada di dalam diri kita. Tentu sifat yang perlu ditekan adalah sifat binatang dan setan. Ibarat sungai yang airnya terus mengalir hingga mencari titik terendah, demikian juga sifat-sifat itu akan mengalahkan sifat lainnya hingga kalah. Namun ditengah kedahsyatan arus atau tarikan sifat-sifat itu, kita memiliki kebebasan untuk menentukan arah aliran, kemana mau mengarahkannya.
Bagi seseorang yang menangisi kondisinya, tentu saja nasib yang akan mempermainkan hidupnya. Tetapi bagi mereka yang sudah membebaskan diri dari belenggu dan pikiran-pikiran buruk dan menyesatkan, nasib sepenuhnya berada di dalam genggamannya. Manusia memiliki kebebasan untuk menentukan nasibnya berdasarkan arah mana yang ingin dituju. Salah seorang Imam berkata: Allah tidak bertanggung jawab atas perbuatan manusia, Allah tidak memaksa manusia untuk berbuat sesuatu. JikaAllah memaksakan kehendak-Nya pada manusia, maka pahala dan dosa tidaklah berlaku.

Jadi, untuk membangun jiwa merdeka, maka kita harus mampu membebaskan diri dari tekanan sifat-sifat buruk yang dimiliki oleh binatang dan setan seperti banyak tawa dan menertawakan orang lain, dan mengembangkan sifat malaikat yang mengarah pada puncak spiritualisme yang sarat akan nilai-nilai ketuhanan. Dan puncak spiritualisme benar-benar tercapai jika dilakukan dengan kesungguhan pikiran dan hati, serta tidak terlalu banyak cengengesan. Selamat menikmati kemerdekaan jiwa! Wallahu a’lam.

Thobib Al-Asyhar
Pengajar PPs Universitas Indonesia, penulis buku

 

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun