Di pasar pagi kutunggu langkahmu. Mereka ramai, aku bisu.
Wajahmu tak serupa yang dulu. Kini menjadi kuyu dan tak lagi ayu.
Mungkin sudah tak lagi sehat akalmu.
Becek pasar kau jadikan cermin, kenapa harus?
Mungkin kau lelah dengan kehidupan dunia yang melelahkan.
Atau kau lelah memikirkan kenangan.
Andai itu memang kenangan, apakah itu kenangan antara kau dan aku?
Ah, pasti bukan.
Sebab hanya aku yang lelah dengan kenanganku, bersamamu.
Di pasar malam, kutunggu baumu. Komedi berputar, aku diam.
Harusnya aku tak menunggu
Menunggumu makan waktu.
Harusnya aku tetap sibuk dengan duniaku. Kamu? tetap di sana, yang entah aku tak tahu.
Kenapa pula Hyang Gusti harus membuat kita bertemu dan mengijinkan mulutmu berkata
"Boleh aku tahu namamu?"
Pandai sekali dirimu!
Datang, membuyarkan mimpiku kemudian lari.
Bahkan kau lari dari dirimu sendiri.
Bejat sekali dirimu!
Hanya sisakan raga tanpa jiwa.
Raga yang masih rambutmu, hidungmu, tubuhmu; bahkan langkah itu masih langkahmu, yang hanya lewat tak berhenti di depanku.
Tak inginkah kau kembali menyapaku?
Hei, mengapa aku terus membisu?
Tak inginkah aku kembali menyapamu?
Hei, mengapa kau terus membisu?
Aku cuma mau satu. Kau tetap kau, aku tetap aku. Bukan drama bingung seperti ini.
Menyerahlah membuatku merindukanmu
Kembalilah! Bertanggung-jawablah! Putuskan kita, kembalikan aku dan kau, sewajarnya dahulu.
Kita? Untuk apa jadi kita? Kita model apa yang akhirnya cuma memisahkan kita?
Kau yang sibuk dengan jalan mencari Maha Cinta, aku kau biarkan sibuk meladeni makhluk-makhluk yang penuh pura-pura.
aku menyesal mengenalmu.
~@oiy14
~@tiarawidodo
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H