Diskusi tentang ketidakefektifan PNS tentu sangat menarik diikuti. Menuding aparatur birokrasi sebagai sumber dari segala sumber kebobrokan sistem pemerintahan, biang korupsi di setiap lini, sumber pelayanan yang tak efisien dan bertele-tele, pun pelaku kolusi dan nepotisme dalam setiap gerak langkah mereka menjadi sebuah trending topic yang digemari banyak kalangan: akademisi maupun pengamat baik profesional maupun amatiran. Saya PNS, jadi mungkin anda menganggap postingan ini sebagai wujud pembelaan saya atas beberapa artikel yang dimuat di kompasiana, khususnya di bawah tag ‘pnstakefektif’. Terus terang, saya memang merasa gerah dan ‘kelara-lara’ (tersakiti, pen) dengan tudingan demi tudingan yang bertubi-tubi tersebut. Walaupun demikian, saya mengakui bahwa wajah buruk PNS seperti yang ditulis memang sungguh terjadi. Namun bukan berarti semua PNS demikian adanya. Banyak pula yang tetap loyal, berdedikasi, bekerja sepenuh hati tanpa peduli meski penghasilan hanya cukup untuk kebutuhan sehari-hari. Generalisir seperti yang sudah terjadi, bahwa PNS begitu dan begini bukan berarti semuanya sudah bobrok dan tak bisa diperbaiki lagi. Saya juga enggan berdebat jika hanya mempermasalahkan mengenai apakah itu benar atau tidak. Karena sudah jelas, itu benar bagi sebagian PNS, namun itu tidak benar bagi sebagian yang lain. Saya lebih tertarik untuk fokus terhadap apa yang bisa kita lakukan untuk membenahi ketidakefektifan tersebut. Setelah semua kritikan baik dalam bentuk olok-olok maupun (maaf) hujatan, harusnya kita bertanya, ada apa di balik ketakefektifan PNS itu? Lalu pertanyaan penting berikutnya, harus bagaimana dan mulai darimana membenahi kebobrokan itu? Sependek pengetahuan saya, ketakefektifan atau apapun anda menyebutnya, bukan semata-mata kesalahan individu PNS. Analoginya begini, jika dalam sebuah kelas, hanya satu dua murid yang benar-benar tak dapat mengikuti pelajaran, maka mungkin bisa dikatakan bahwa memang individu murid tersebut yang mengalami gangguan sehingga mengalami ketertinggalan. [caption id="attachment_118368" align="aligncenter" width="300" caption="Sumber: Google"][/caption] Namun, jika di kelas tersebut hampir 75% muridnya tidak memahami penjelasan yang diberikan, maka silakan simpulkan sendiri apa yang salah dengan kelas tersebut. Demikian pula yang terjadi di lingkungan PNS. Jika selama ini, oknum PNS melakukan penyimpangan secara berjamaah sehingga anda cenderung menggeneralisir persoalan, maka menurut pendapat saya, kesalahan terdapat di dalam cara/metode yang digunakan untuk mengatur/me-manage PNS. Saat ini, payung yang mengatur PNS adalah UU No. 43 Tahun 1999 tentang Perubahan Atas UU No 8 Tahun 1974 tentang Pokok-Pokok Kepegawaian. Dalam aturan tersebut dijelaskan bahwa manajemen Pegawai Negeri Sipil adalah: ‘keseluruhan upaya untuk meningkatkan efisiensi, efektivitas dan derajat profesionalisme penyelenggaraan tugas, fungsi dan kewajiban kepegawaian, yang meliputi perencanaan, pengadaan, pengembangan kualitas, penempatan, promosi, penggajian, kesejahteraan dan pemberhentian.’ Jelas sekali bukan, bahwa sebenarnya PNS pun punya aturan yang melarang mereka malas, pun melarang mereka untuk melakukan tindakan jahat lain dengan kalimat ‘meningkatkan efisiensi, efektivitas dan profesionalisme’.. Adanya gap/kesenjangan antara apa yang tertulis dengan apa yang terjadi, menunjukkan bahwa pada prakteknya, konsep manajemen PNS belum dilakukan sesuai aturan. Tapi baiklah, toh tujuan saya bukan untuk mencari pembenar, tapi pada apa yang harus dilakukan dan bagaimana cara membenahinya. Bukan bermaksud menggurui, hanya sekedar berbagi pikiran. Dengan kerangka manajemen PNS di muka, saya akan memulai dari proses rekrutmen hingga proses pensiun/terminasi. 1. Proses Penerimaan CPNS Proses penerimaan CPNS yang fair dan bebas calo bukan tidak mungkin dilakukan. Pendaftaran melalui pos dan atau secara online terbukti cukup ampuh meminimalisir kecurangan dan proses percaloan. Proses seleksi dengan melibatkan pihak ketiga seperti di daerah saya, bekerja sama dengan instansi non pemerintah (misalnya perguruan tinggi) juga membuat proses penerimaan transparan dan akuntabel. Meski demikian, bukan tak mungkin ada pihak yang mencoba ‘pasang jaring’ yang mengaku bisa mempertemukan calon CPNS dengan bupati atau pihak berwenang lain, padahal senyatanya omong kosong belaka. Banyaknya kasus penipuan yang diberitakan mejadi bukti bahwa meskipun proses penerimaan CPNS sudah fair dan obyektif, masih ada oknum yang ‘bermain’, baik itu PNS maupun non PNS. Pun mengenai hitung-hitungan jumlah CPNS yang akan diterima harus dilakukan melalui mekanisme yang transparan pula. Setiap organisasi tentu memiliki Struktur dan Tata Kerja yang di dalamnya terdapat job description untuk masing-masing jabatan, baik fungsional maupun struktural. Jumlah CPNS yang akan diterima tentunya harus berdasarkan jumlah kekurangan yang aktual. Pendapat saya pribadi, konsep zero growth yang pernah mengemuka beberapa waktu lalu sebenarnya cocok diterapkan. Yang perlu dilakukan adalah memberdayakan PNS yang sudah ada. Barulah ketika kekurangan PNS terjadi akibat banyaknya PNS yang memasuki masa pensiun, seleksi penerimaan CPNS dilakukan kembali. 2. Proses Pengembangan PNS Ketika sudah diterima sebagai PNS, maka di sinilah ujian yang sesungguhnya dimulai. Sebenarnya, pengembangan PNS ini luas sekali cakupannya, meliputi sistem kesejahteraan (gaji, tunjangan, kenaikan pangkat dan pensiun) dan pengembangan karier (mutasi, promosi, dan pendidikan/latihan). Dalam artikel ini, saya akan fokus pada sistem penggajian/pemberian tunjangan yang banyak disoroti oleh postingan sebelumnya. Jika saja sistem penggajian dan pemberian tunjangan di sektor publik sama dengan sektor swasta, di mana didasarkan pada kinerja individu, maka mungkin sistem penggajian akan bisa berpengaruh pada kinerja. Kenyataannya, yang terjadi, gaji didasarkan pada pangkat, golongan ruang dan masa kerja. Reformasi birokrasi saat ini memang telah memunculkan konsep remunerasi yang saat ini sedang diterapkan pada beberapa instansi pusat sebagai pilot project. Pun di daerah sedang banyak dikaji konsep Tunjangan Kinerja Daerah (TKD) yang diharapkan bisa mendongkrak kinerja. Namun saya kira hasilnya akan sia-sia jika TKD yang diberikan masih sama rata, tanpa memandang kinerja per individu. Selayaknya TKD digarap secara serius sebagaimana remunerasi, dan memunculkan variabel-variabel kinerja seperti kedisiplinan, hasil kerja, resiko kerja, dan lain-lain untuk dijadikan komponen penilaian dalam penentuan besaran TKD. Demikian pula, selain prinsip reward, punishment/hukuman pun harus diberikan secara berimbang. PNS yang terlambat atau mangkir tak masuk kerja juga harus diberikan tindakan, misalnya dengan pemotongan tunjangan (masuk dalam ranah kedisiplinan), demikian seterusnya. Untuk menghindari bias, penilaian terhadap masing-masing variabel yang disusun juga jangan hanya dilakukan oleh atasan langsung. Peer assessment (penilaian rekan sekerja) juga perlu diterapkan, bahkan mungkin PNS yang bersangkutan juga diminta menilai diri sendiri. Rumit? Mungkin iya, tapi jika memang menginginkan sistem yang jujur dan transparan plus akuntabel, mungkin model di atas layak dicoba. Itu baru satu masalah dalam hal sistem penggajian dan pemberian tunjangan. Pada masalah lain, misalnya promosi dan mutasi jabatan, reformasi yang harus dilakukan (dalam pandangan saya) agar bisa meningkatkan kinerja tak kalah kompleks. 3. Proses pensiun Mungkin dari sekian banyak komponen dalam manajemen PNS, yang terakhir inilah yang dianggap paling tidak bermasalah. Gurauan salah satu teman yang pensiun tahun lalu ‘Alhamdulillah, akhirnya saya bisa khusnul khotimah’. Secara tersirat, kalimat ini dapat diartikan bahwa beliau bisa menyelesaikan karier ke-PNS-annya secara baik. Masalah yang mungkin muncul adalah ketika memasuki masa pensiun dianggap akhir dari segalanya, yang biasanya ditandai dengan munculnya ‘post power syndrome’. Di sinilah manajemen PNS dituntut untuk menyiapkan mental para calon pensiunan tersebut dengan meyakinkan bahwa masa pensiun adalah tahap ‘memasuki karier kedua’. Masalah lain adalah munculnya wacana perpanjangan batas usia pensiun (BUP) yang boleh diajukan oleh pejabat eselon I dan II di pusat maupun daerah, yang banyak ditentang dan dipertanyakan baik konsep maupun prakteknya. Lalu, siapa yang berwenang untuk memberikan keputusan mengenai hal-hal tersebut di atas? Tentu saja, beliau-beliau yang memegang kendali sebagai pengambil kebijakan, pihak eksekutif dan legislatif. Pertanyaannya, apakah mereka-mereka yang duduk di kedua posisi tersebut memiliki keberanian dan juga kekuatan untuk merombak sistem yang selama ini telah berjalan? Jadi jangan hanya bilang bahwa PNS begini dan begitu, nyatanya sistem yang ada sekarang memang kurang mendukung untuk bisa efektif, efisien dan profesional sebagaimana diamanatkan undang-undang. Jalan menuju PNS ideal memang masih sangat panjang. Perbaiki sistemnya, perbaiki aturan mainnya, lalu tegakkan pelaksanaannya, baru setelah itu, jika memang kinerja masih 'acak adul' dan amburadul, bolehlah anda bilang bahwa PNS itu memang malas, tak tahu diri, atau lintah penghisap kekayaan negara.. Salam.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H