Tuh kan.. Sudah hampir setengah jam lebih saya bengong di depan layar. Ide sudah ada, jari jemari juga sudah mulai gatal, nggak sabaran pengen segera mengetuk keyboard. Tapi, sulit sekali setiap mau memulai mengetikkan kata demi kata. Sabar.. semua ada prosesnya. Seperti halnya pembuatan thiwul. Thiwul, bagi anda yang masih asing dengan kata ini, adalah makanan berbahan dasar ketela pohon/singkong yang dulu sempat diidentikkan sebagai makanan pokok pengganti nasi di kalangan masyarakat Pulau Jawa bagian selatan seperti kawasan Pawonsari (Pacitan, Wonogiri, Wonosari). Eits.. jangan salah, meski terkesan 'ndeso' thiwul juga ngangeni karena rasanya yang khas: gurih dan manis. Proses pembuatannya juga cukup lama, terhitung mulai dari mencabut singkong, mengupas, lalu menjemurnya sekitar 3-7 hari untuk membuat gaplek (singkong yang benar-benar kering). Dari gaplek selanjutnya diolah menjadi tepung gaplek/tepung tapioka, barulah dikukus selama kurang lebih satu jam setelah sebelumnya dicampur dengan air, gula aren (bagi yang suka manis-manis), dan daun pandan. Setelah ditaburi dengan kelapa parut dan garam, barulah anda dapat menikmati thiwul dengan secangkir teh hangat atau kopi manis di sore hari yang cerah. Hmm.... Kembali lagi pada proses menulis, seperti halnya membuat thiwul, untuk bisa menulis-pun tentu butuh proses, yang tak jarang lama dan rumit, meski juga tidak sedikit yang mulus dan cepat. Sungguh, saya harus sering mengingatkan diri saya sendiri, karena seringnya dalam berproses itu saya 'mutung' (patah semangat, menyerah, ngambek). Buktinya beberapa ide yang sudah separo jalan nganggur begitu saja, hingga sekarang. Sungguh, saya berharap bahwa proses yang saya lalui akan membuat sore saya menjadi hangat, ditemani secangkir teh manis dan tentunya thiwul gurih kesukaan saya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H