Mohon tunggu...
Thirza Humaira Zen
Thirza Humaira Zen Mohon Tunggu... Insinyur - Pelajar

Pelajar

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Hoaks Hingga Radikalisme: Bagaimana Kondisi NKRI di Era Digitalisasi?

2 Februari 2025   21:11 Diperbarui: 2 Februari 2025   21:11 21
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi penyebaran konten hoaks (Sumber: Freepik)

Indonesia merupakan negara kepulauan yang kaya akan keberagaman budaya, agama, dan suku bangsa, tetapi, persatuan NKRI menghadapi tantangan besar di era digital. Di satu sisi, kemudahan mengakses informasi  membawa banyak dampak baik seperti meningkatkan kualitas hidup masyarakat, memperkuat toleransi, dan menyatukan bangsa. Namun, di sisi lain justru menjadi alat penyebar hoaks, ujaran kebencian, dan paham negatif lainnya. Ancaman disintegrasi di ruang digital tidak bisa dianggap remeh. Jika tidak diwaspadai, celah-celah kecil akibat dari informasi palsu yang merajalela di dunia maya dapat merusak kesatuan yang telah dibangun selama puluhan tahun. 

Media sosial telah menjadi tempat yang sering digunakan untuk menyebarkan konten hoaks dan provokatif. Sejak bulan Agustus 2018 hingga akhir tahun 2023, Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) telah menangani sekitar 12.547 kasus hoaks. Dari total kasus tersebut, 1.615 diantaranya berasal dari tahun 2023, sedangkan 1.528 lagi dari tahun 2022. Para peneliti dari Massachusetts Institute of Technology (MIT), yang telah menganalisis sekitar 126.000 cerita yang oleh jutaan pengguna aplikasi Twitter, menemukan bahwa berita palsu 70 persen lebih mungkin untuk disebar dibandingkan berita yang benar dan akurat.

Hoaks tidak jarang memanfaatkan situasi sosial maupun politik untuk menciptakan kerusuhan. Contohnya, pada pemilu 2024, berbagai netizen di media sosial menyebarkan berita palsu tentang asumsi kecurangan dalam proses pemungutan suara, yang kemudian memicu ketidakpercayaan terhadap lembaga negara. Berikut beberapa contoh hoaks lain yang pernah beredar:

  • Jokowi Bicara Soal Propaganda Rusia (2019): Sebuah informasi palsu menyatakan bahwa Presiden Joko Widodo berbicara tentang penggunaan strategi "Propaganda Rusia" oleh lawan politiknya. Hoaks ini dirancang untuk menimbulkan persepsi negatif terhadap pihak tertentu dan memecah belah pendukung masing-masing kubu politik. Informasi ini kemudian dibuktikan tidak benar.  

  • Penjualan Pulau Bali ke China (2017): Beredar informasi palsu yang menyatakan bahwa pemerintah Indonesia menjual Pulau Bali kepada China untuk membayar utang negara. Berita ini menimbulkan kemarahan di kalangan masyarakat, khususnya warga Bali, yang merasa kedaulatan dan identitas budayanya terancam. Akibatnya, ketidakpercayaan terhadap pemerintah meningkat dan muncul sentimen anti-China yang memperdalam perpecahan sosial.

Bukan hanya hoaks, algoritma media sosial juga berkontribusi terhadap terbentuknya polarisasi masyarakat. Platform seperti Facebook, Twitter, dan TikTok menggunakan engagement-based algorithm. Semakin kontroversial suatu video, semakin besar kemungkinan orang ingin berkomentar atau berdebat, yang kemudian meningkatkan interaksi dan membuat algoritma semakin mendorong konten yang memicu emosi tersebut. Akibatnya, narasi provokatif terus menyebar dan semakin memperparah polarisasi di masyarakat. 

Kepala Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT), Komjen Pol. Prof. Dr. Rycko Amelza Dahniel, M.Si., menekankan pentingnya kewaspadaan terhadap fenomena radikalisasi online. Beliau mengungkapkan bahwa kemajuan teknologi informasi telah memfasilitasi proses radikalisasi secara online, dimana kelompok remaja, anak-anak, dan perempuan menjadi sasaran utamanya. Diperlukan upaya bersama untuk meningkatkan kesadaran publik, sehingga masyarakat tidak mudah dipengaruhi oleh ajaran yang bertentangan dengan ideologi bangsa.

Masyarakat Indonesia memiliki peran penting dalam menjaga persatuan Indonesia di tengah banyaknya konten negatif di ruang digital. Tidak perlu menjadi ahli teknologi atau pejabat pemerintah untuk berkontribusi, dengan melaporkan konten hoaks atau ujaran kebencian melalui fitur pelaporan di platform media sosial, atau bahkan dengan tidak berinteraksi dengan konten provokatif, kita sudah membantu memutus rantai penyebarannya. 

Digitalisasi tidak dapat dihindari, tetapi disintegrasi bukan suatu hal yang pasti terjadi. Dalam dunia digital, setiap like, share, dan komentar adalah bentuk pertarungan antara persatuan dan perpecahan. Kita bisa memilih untuk menjadi penyebar hoaks atau pejuang kebenaran. Seperti kata Bung Karno, "Perjuanganku lebih mudah karena mengusir penjajah, perjuanganmu akan lebih sulit karena melawan bangsamu sendiri."

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun