"Jika pohon terakhir telah ditebang, dan ikan terakhir telah ditangkap,Â
maka manusia baru akan sadar bahwa ternyata uang tidak bisa dimakan"Â
(Eric Weiner, The Geography of Bliss)
Pandemi Corona Virus Disease (covid-19) sebagai wabah global senyatanya merupakan indikator konkrit atas fenomena ketidakseimbangan ekosistem secara global; homeostatis lingkungan telah terciderai oleh perilaku dan tindakan manusia terhadap alam. Makna eksplorasi telah diluncasartikan dengan eksploitasi terhadap alam beserta dengan segala sumber daya yang dimilikinya.
Perlu disadari bersama bahwa senyatanya keberadaan alam ciptaanNya bukanlah obyek yang bisa dieksploitasi (dikuras) demi memuaskan hawa nafsu keserakahan (egoisme) manusia, namun alam haruslah dipahami sebagai sumber daya yang ragam dan ketersediaannya terbatas sehingga keberadaan dan kelestariaannya perlu dirawat dan dijaga bagi generasi mendatang.
Melalui pandemi covid-19 yang belum menampakkan titik terang terkait kapan dan bagaimana akan selesainya, sebagai warga dunia, terkhusus sebagai warga negara yang tinggal dan hidup bersama di bumi pertiwi ini, kita perlu berefleksi, berpikir dan mengevaluasi atas setiap sikap dan perbuatan kita dalam memperlakukan alam. Â
Chapman dkk (2007) dalam bukunya yang berjudul 'Bumi yang terdesak', menyatakan bahwa populasi manusia tidak hanya tumbuh secara eksponensial, tetapi gaya hidup dan pola konsumsi manusia telah mendorong munculnya teknologi yang semakin merusak lingkungan. Ringkasnya, semua bentuk musibah dan bencana alam yang menimpa acapkali justru disebabkan oleh ulah manusia sendiri yang cenderung menyakiti (merusak) alam lingkungan.
Sahabat alam
Melalui opininya yang berjudul "Merenungi Epistemologi Bencana", Eko Yulianto (Peneliti Palaeotsunami dan Kebencanaan LIPI) memaparkan dan mengulas tentang egoistik manusia sebagai pemicu dari bencana yang menimpa ibu pertiwi, disamping tentunya ajakan untuk membangkitkan kesadaran dalam memperlakukan alam sebagai ciptaanNya dengan lebih arif dan bijak (Kompas, 24/11).
Ironinya, di bumi pertiwi Indonesia kebijakan seputar lingkungan hidup belum menukik sampai pada tataran kebutuhan masyarakat. Sebaliknya, kebijakan yang menyangkut soal kelangsungan dan kelestarian lingkungan hidup acapkali masih membuka ruang untuk diperdebatkan. Apalagi motifnya bila bukan  karena kepentingan, uang dan kekuasaan. Menjadi relevan, pernyataan reflektif yang diungkap oleh Eric Weiner, The Geography of Bliss, "Jika pohon terakhir telah ditebang, dan ikan terakhir telah ditangkap,  maka manusia baru akan sadar bahwa ternyata uang tidak bisa dimakan."Â