Mohon tunggu...
ThinkerBell .
ThinkerBell . Mohon Tunggu... -

30.percent.left@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

Halalkah Sertifikat Halal oleh MUI?

3 Maret 2014   23:19 Diperbarui: 24 Juni 2015   01:16 999
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Halalkah Sertifikat Halal oleh MUI ?

Polemik tentang Label Halal ini sudah menjadi perdebatan cukup lama, banyak kubu  yang berusaha mengemban tanggung jawab atas otoritas Label Halal ini.

Polemik semakin keruh karena seringkali perbedaaan perspektif halal / haram sebuah benda dikuasai oleh pihak tertentu, padahal dengan ada nya label ini mempengaruhi kondisi perniagaan, supremasi hukum formal, otoritas resmi yang seharusnya mengembannya, dan pengakuan dari Negara lain atas label tersebut, alhasil Label Sakti ini tidak hanya berpengaruh pada muslim saja tetapi juga non-muslim dan pihak asing dan swasta yang memasarkan ataupun meng-ekspor  produk makanan dan minuman di dalam / keluar Indonesia.

Sebenarnya UUD”45 yang merupakan undang2 tertinggi dinegara ini sudah mengaturnya dengan jelas bahwa segala sesuatu yang menyangkut hajat hidup orang banyak dan menyangkut kesejahteraan masyarakat banyak harus dikuasai dan dikelola Negara dan digunakan sebesar2nya kemakmuran rakyat.

Keadaan menjadi pelik ketika :

1. Negara sebagai pemangku kewajiban ini sudah bertahun tahun diam ketika hal ini “dikuasai” oleh Ormas tertentu, sesat pikir ini didasari atas persepsi bahwa orang2 dalam Ormas tersebut dipandang cukup berkompeten dan cukup ahli dalam hal tersebut.  Padahal bukan alasan bagi Negara menyerahkan pada Ormas tsb  perihal label ini dikarenakan orang2 dengan kualifikasi yang dibutuhkan ada di dalamnya.

Jika memang Negara sadar bahwa harus ada standarisasi product2 tsb maka Negara seharusnya membuat sertifikasi produk halal tersendiri bersanding/terpisah dengan standart SNI dan BPOM RI, sehingga dapat digunakan oleh semua pihak.

2. Adanya pungutan terhadap sertifikasi Label Halal MUI ini, dimana uang tsb tidak disetorkan pada Negara, seharusnya tidak menjadi masalah lagi ketika Negara sudah menerbitkan Sertifikasi sendiri, adalah bebas bagi produsen, consumer, umat, dan perniagaan ketika menggunakan Standard lain ( community driven based ) selain Standard wajib pemerintah , selama standard resmi pemerintah sudah dipenuhi, dan tentu saja pungutan oleh MUI tersebut adalah objek pajak penghasilan.

3. Pendapat kaum fundamentalis yang beragam berkutat dengan masalah fundamental agama terkait yang menabrak kesana kemari (kerap kali kehilangan kesadaran :p). Bahkan seorang kompasianer favorit saya imam prasetyo  terang2an menabrak golongan non-muslim tertentu yang dianggap usil dan tidak berhak mencermati masalah sertifikasi halal ini, padahal jika kita berbicara sertifikasi maka akan menyangkut hampir semua WNI apapun agamanya, krn terkait langsung dengan standart produk/produksi, informasi product yang di jual, dsb.

4. Jika sertifikasi resmi halal RI sudah bisa dilakukan? Lalu siapa yang memutuskan status Haram?

Jadi bukankah Negara berkewajiban untuk menerbitkan sertifikasi sendiri terkait Standard Halal ini, Negara bisa saja mengumpulkan orang2 berkompeten terkait Halal atau tidaknya dari sisi agama dan mesyaratkan standard tersebut untuk dipenuhi oleh produsen makanan / minuman yang akan diedarkan di Indonesia mengingat kebutuhan user mayoritas dalam negri.

Selama kondisi diatas telah dipenuhi pemerintah maka seharusnya tidak ada polemik lagi tentang sertifikasi MUI.

Berbagai kalangan berargumen bahwa halal/haramnya product makanan hanya berimbas pada muslim saja, berikut adalah rekaman data pada kasus ajinomoto thn 2000 lalu ( anda dapat melihatnya lengkap dari http://id.wikipedia.org/wiki/Ajinomoto )

Akibat pada organisasi

·Kerugian karena penarikan produk secara massal dan mengganti kerugian distributor. Ajinomoto menderita kerugian total 55 miliar rupiah karena harus mengeluarkan biaya sebagai usaha proaktif mendatangi pedagang dan pengecer untuk menarik produknya yang diperkirakan mencapai 3.500 ton[6]dan menggantinya sesuai dengan harga pasar[10]. Tidak hanya di Indonesia, Singapura sebagai negara pengimport bumbu masak Ajinomoto dari Indonesiapun menarik produk ini dari pertokoan negeri tersebut[6].

·Turunnya saham Ajinomoto saat tersiar kabar ini sebesar 30 poin di bursa.

·Penyegelan gudang Ajinomoto dan penutupan sementara pabrik, namun semua karyawan tetap masuk kerja untuk menarik produk dari pasar dan mengatur penerimaan barang di pabrik agar tidak beredar lagi di pasar. Seluruh karyawan bahu-membahu agar persoalan yang menimpa perusahaan segera selesai.[6].

·Enam petinggi perusahaan PT. Ajinomoto Indonesia diperiksa oleh PoldaJatim, yaitu: Manajer Kontrol Kualitas Haryono, Manajer Teknik Yoshiko Kagama, Manajer Produksi Sutiono, Manajer Perusahaan Hari Suseno, Kepala Departemen Manajer Cokorda Bagus Sudarta, dan Manajer Umum Yosi R. Purba.

·Walaupun begitu, apabila tidak ditarik dari peredaran sebenarnya omzet penjualan perusahaan ini tidak turun secara drastis[6].

Opini publik

·Mulai dari penjaja baso hingga warung nasi harus memberi penjelasan bahkan memasang papan pengumuman bahwa makanan yang mereka jual tidak menggunakan Ajinomoto agar para pengunjungnya yakin[6][11].

·Di propinsi Sulawesi Selatan produk Ajinomoto terjual 30% dari produksi nasional dan pemberitaan media tidak banyak berpengaruh. Beberapa penjual diberbagai tempatpun mengakui bahwa Ajinomoto yang selama ini merupakan merk penyedap rasa terlaris masih banyak ditanyakan khususnya bagi kalangan non muslim.

·Mandra sebagai tokoh yang muncul di iklan Ajinomoto mengaku kesal dan ingin mengakhiri kontrak apabila tuduhan enzim babi terbukti benar.

·Razia produk Ajinomoto dilakukan secara beramai-ramai dan secara nasional.

Bayangkan jika sebuah pribadi tokoh,lembaga, Ormas agama, ataupun ormas lainya yang non pemerintah, menyatakan sebuah product adalah haram, sedangkan ketentuan halal dan masa berlaku sudah didapat ? Apa yang terjadi ?

Yang jadi pertanyaan saya adalah Point #4 inilah yang akan mungkin sekali menjadi HL dikompasiana jika ada penulis hebat yang menulisnya :p hahahahha

Salam

Be Nasionalist, Be Adequate to this Country

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun