Setiap krisis pasti ada ongkosnya, pernyataan yang dikemukakan oleh ketua umum Perhimpunan Bank-Bank Nasional Sigit Pramono dalam sebuah diskusi di Jakarta mengingatkan kita betapa dahsyatnya krisis ekonomi yang pernah melanda tanah air pada 1997-1998. Krisis yang bermula dari jatuhnya mata uang Bath Thailand tersebut tidak hanya membuat perekonomian Indonesia hancur lebur, namun juga merubah tatanan sosial politik telah bertahan selama 32 tahun pemerintahan Orde Baru di Republik ini.
Hantaman krisis kembali terjadi pada tahun 2008, kali ini episentrumnya adalah Amerika Serikat, tidak hanya memporakporandakan perekonomian negara adi daya tersebut, namun juga mewabah ke Eropa dan Asia termasuk Indonesia.
Pada penghujung tahun 2008, Amerika Serikat mengeluarkan kebijakan yang menelan biaya hampir 1,3 triliun USD untuk menyelamatkan perekonomiannya.
Suasana krisis financial pada waktu itu pun sudah mulai terasa dikalangan pelaku usaha dan perbankan. Jika melihat kebelakang, sebenarnya sejumlah ekonom nasional pun menyatakan bahwa perekonomian Indonesia di tahun 2008 sangat rentan terimbas krisis. Seperti yang dikatakanFuad Bawazier bahwa krisis ekonomi berada di depan mata (Suara Karya,28/7/ 2007), sementara Rizal Ramli mengatakan krisis ekonomi 2008 bisa membahayakan perekonomian nasional (Inilah, 13/11/2008).
”Krisis di Indonesia baru tahap awal. Perekonomian di 2008 adalah tahun gelembung, karena banyak perusahaan yang berpusat di sektor finansial. Sektor finansial yang menyebabkan gelembung tersebut umumnya adalah saham. Penggelembungan ini bisa diperkecil jika pemerintah mau memperhatikan sektor rill seperti pertanian, perikanan,”
Drajat Wibowo ekonom dan juga anggota DPR RI mengatakan, ada dua masalah krusial yang bisa membuat krisis kali ini lebih parah dibanding krisis sebelumnya. Pertama, hancurnya perbankan karena kredit macet. Ini akan mengakibatkan banyaknya saham-saham di Indonesia (nilainya) menjadi lebih parah dari krisis moneter 1998 (Hukumonline, 10/10/2008).
Anggota DPR RI yang kini menjadi Tim Pengawas Kasus Bank Century Bambang Soesatyo pun pernah menyatakan bahwa hantaman krisis 2008 jauh lebih besar dari krisis 1998. Pasar produk Indonesia kehilangan pangsa ekspor akibat tidak adanya perpanjangan kontrak ekspor pada 2009 (Vivanews, 25/11/2008). Begitupun dengan anggota DPR RI lainnya seperti Maruarar Sirait mengatakan, pemerintah harus segera bertindak cepat guna mengantisipasi krisis yang sudah melanda pasar modal meluas ke perbankan (Suara Pembaruan, 13/8/2008).
Pahami Karakteristik Pasar Finansial
Dalam menentukan kebijakan dalam menghadapi krisis ekonomi, Biasanya ekonom memang menggunakan data-data yang sifatnya kuantitatif untuk kemudian mengambil suatu kesimpulan mengenai apa yang sebenarnya terjadi dengan perekonomian.
Ketika bicara dengan perekonomian, kita perlu menelaah bahwa krisis yang menghantam tahun 2008 itu terjadi pada pasar finansial, oleh karena itu, maka data yang harus dilihat pun adalah data finansial bukan data GDP, bukan data investasi, bukan data inflasi.
Bila berbicara mengenai data finansial, maka yang harus dilihat adalah karakteristik dari pasar finansial itu. Bahwa pasar finansial itu operasinya 24 jam 7 hari dalam satu minggu.
Oleh karena itu bukan data GDP, bukan data investasi, bukan data inflasi yang dijadikan tujuakan . Karena data-data tersebut semua berada di sektor riil yang mana pelaporannya dilakukan per-kuartal sekali dengan leg bisa sampai sekali dalam dua bulan.
Di era informasi dan teknologi yang pesat perubahan di pasar finansial terjadi dalam hitungan detik.
Kondisi Ekonomi Tahun 2008
Di Indonesia, rupiah yang sebelumnya stabil di kisaran Rp 9. 000,- per dolar Amerika Serikat mulai goyang. Memasuki pertengahan September 2008, rupiah mulai terombang-ambing. Puncak kemerosotan nila tukar rupiah terjadi pada 24 November 2008 ketika menembus angka psikologis Rp 12.000,- per satu dolar Amerika Serikat.
Hal ini memicu kepanikan perusahaan-perusahaan nasional, terutama yang mengandalkan impor bahan baku dalam proses produksinya dan pemilik modal tergerus nilai nominalnya. Kemerosotan nilai rupiah sudah barang tentu diikuti dengan kenaikan harga barang-barang yang selanjutnya mendongkrak inflasi hingga sempat menyentuh angka 12,5 persen pada tahun 2008.
Beberapa indikator menunjukkan seberapa rawan kondisi perbankan pada saat Bank Century diselamatkan (November 2008), yaitu tingginya tekanan terhadap industri perbankan nasional yang tercermin dari Banking Pressure Index yang dirilis oleh Danareksa Research Institute pada oktober sudah mencapai 0,9 melebihi ambang batas normal 0,5. Kondisi tersebut mirip dengan situasi krisis pada pertengahan 1997, yang berujung pada kekacauan pasca penutupan 16 bank (1 November 1997) atas desakan IMF. Kemudian tiga bank BUMN yaitu Bank Mandiri, BNI dan BRI memerlukan tambahan likuiditas, hal tersebut dilakukan dengan memberikan suntikan dana sebesar Rp 15 triliun oleh Kementerian Keuangan.
Data Bank Indonesia menunjukan adanya gejala segementasi di pasar uang antar bank (PUAB) yang semakin meluas. Terdapat 18 bank dan 5 bank yang memiliki karakteristik mirip seperti Bank Century yang berpotensi mengalami kesulitan likuiditas. Rumor negative kegagalan 23 bank ini bisa memicu terjadinya rush (bank run).
Kondisi tersebut sangat mirip dengan penutupan 16 bank pada November 1997, yang berujung pada remuknya perekonomian Indonesia. Likuiditas pasar uang antarbank (PUAB) saat itu sangat ketat. Volume transaksi PUAB melonjak dari Rp 157,5 triliun pada kuartal kedua 1997 menjadu Rp 278, 1 triliun pada kuartal keempat (Katadata: 2014).
Analisis Masalah Kebijakan Dengan Cepat dan Tepat
Dalam mengambil sebuah kebijakan, setiap policy maker harus mampu menganalisis masalah kebijakan dengan cepat. Analisis kebijakan merupakan tindakan yang diperlukan untuk dibuatnya sebuah kebijakan, baik kebijakan yang baru sama sekali, atau kebijakan yang baru sebagai konsekuensi dari kebijakan yang ada (Patton and Sawicky : 1993).
Seorang analis kebijakan bekerja dalam sebuah lingkungan yang serba terbatas: waktu, informasi, bahkan pengetahuan. Peran analis kebijakan adalah memastikan bahwa kebijakan yang hendak diambil benar-benar dilandaskan atas manfaat optimal yang akan diterima oleh public, dan bukan asal menguntungkan pengambil kebijakan (Nugroho: 2003).
Dalam suasana krisis financial tahun 2008 kita bisa melihat bahwa situasi atau informasi yang dihadapi oleh policy makers sangatlah terbatas. Dengan informasi yang ada policy maker harus memutuskan sebuah kebijakan dalam waktu yang cepat, karena apabila terlalu lama dalam mempertimbangkan sebuah kebijakan maka kebijakan akan tidak relevan lagi karena tantangannya sudah berbeda.
Di Amerika pada saat terjadi krisis yang dipicu oleh sub prime mortgage, Ben Bernanke (Gubernur the Federal Reserve AS) bersama Henry Paulson (Menteri Keuangan AS) mendatangi Nancy Pelosi yang merupakan Ketua Parlemen AS untuk segera menyetujui kebijakan bailout kepada sejumlah lembaga keuangan di Amerika Serikat meskipun mereka berbeda partai politik.
Kebijakan bailout diperlukan untuk menyelamatkan lembaga keuangan di Amerika Serikat yang mengalami krisis, setelah runtuhnya lembaga keuangan non bank raksasa yakni Lehman Brother akibat kesulitan likuiditas.
Keputusan untuk melakukan bailout haruslah dilakukan dalam waktu sesegera mungkin, dan agar kebijakan tersebut mempunyai landasan hukum yang jelas maka Ben Bernanke dan Henry Paulson meminta ijin kepada Nancy Pelosi.
Bagaimana kondisi perekonomian di Indonesia saat itu ? Indonesia tidak menerapkan penjaminan penuh (blanket guarantee) ketika berbagai negara melakukannya (Singapura, Malaysia, Australia, Selandia Baru, Jerman, Belanda). Pada saat itu Kementerian Keuangan, Bank Indonesia, perbankan (Ikatan Bankir Indonesia), Pengusaha dan sejumlah ekonom sebenarnya telah mengusulkan dilakukannya blanket guarantee namun usulan tersebut ditolak oleh Wakil Presiden Jusuf Kalla. Padahal menurut ekonom Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Iman Sugema, kekhawatiran sistemik tidak perlu ada jika pemerintah memberlakukan kebijakan blanket guarantee.
Kebijakan penyelamatan Bank Century sesungguhnya bukanlah hanya untuk menyelamatkan satu bank saja yang kebetulan juga merupakan bank gagal dimana sebelumnya mengalami kalah kliring.Karena kebijakan penjaminan penuh tidak dilakukan, maka opsi ideal lainnya ialah melakukan penyelamatan bank gagal yang diduga berdampak sistemik disaat ancama krisis keuangan global. Di tutupnya bank pada saat krisis dan sejumlah indikator dikhawatiran akan terjadinya efek berantai karena sisi psikologis yang membuat kepanikan nasabah karena tidak ada jaminan penuh yang berdampak runtuhnya perekonomian nasional.
Tapi memang, dapat dipahami bahwa sebuah keputusan selalu menimbulkan dua tanggapan: pro dan kontra. Keputusan KSSK kemudian dianggap tidak tepat dan tidak sesuai prosedur. Beberapa pihak mempertanyakan banyak hal. Dimulai dari tidak adanya kriteria terukur tentang dampak sistemik. Lalu, apa dasar penilaian Bank Century sebagai bank gagal berdampak sistemik sehingga perlu diselamatkan? Adakah motif lain dibalik penyelamatan Bank Century? Sampai dengan, mempermasalahkan proses pengambilan keputusan yang dianggap tidak transparan, karena KSSK tidak berkonsultasi terlebih dahulu dengan Wakil Presiden dan Dewan Perwakilan Rakyat RI. Pandangan negatif lainnya adalah KSSK dianggap bertanggung jawab menggelembungkan dana talangan dari Rp. 683 miliar pada rapat awal hingga menjadi Rp. 6,76 triliun pada keputusan akhir. KSSK dianggap turut terlibat dalam penyaluran dana penyertaan modal LPS kepada Bank Century. Namun pada saat itu keputusan yang terpenting bagi pemerintah ialah membuat dan mengambil langkah-langkah antisipasi dan kebijakan yang cepat dan tepat dalam menghadapi situasi dan kondisi yang penuh ketidakpastian akibat krisis global sudah tepat Indonesia terhindar dari krisis keuangan dan ekonomi Indonesia tetap tumbuh positif.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H