Dalam peradaban Nusantara yang berkembang ribuan tahun, pemimpin haruslah seorang ksatria. Di masa lalu, ksatria adalah soal kasta dan terutama ditentukan oleh garis keturunan. Sudra tidak bisa jadi waisya apalagi ksatria.
Selain soal kasta, ada juga kriteria yang disusun masyarakat untuk mengukur seseorang sebagai ksatria atau bukan. Pada masyarakat Jawa, seorang disebut ksatria bila punya lima hal : Wanita, Wisma, Turangga, Curiga, dan Kukila.
Seseorang pria tidak bisa disebut ksatria bila tidak punya pendamping hidup. Ksatria wajib beristitri. Seorang pria yang belum, tidak, atau bercerai dari istrinya tidak bisa disebut ksatria.
Pria juga wajib punya wisma. Bukan sekedar tempat tinggal. Harus berupa bangunan lengkap dengan aneka peralatan dan karyawan (abdi) di dalamnya.
Selanjutnya, untuk bisa disebut ksatria, seorang pria harus punya turangga. Secara harfiah, turangga adalah kendaraan. Turanngga sebenarnya pengetahuan. Sebab, orang dengan ilmu pengetahuan akan bisa melangkah jauh dan punya wawasan luas. Setiap pemimpin memang harus punya wawasan.
Syarat selanjutnya adalah curiga yang dilambangkan dengan keris yang diselipkan di punggung. Dalam kondisi damai, keris diselipkan di punggung. Dalam kondisi perang, keris diselipkan di pingggang sebagai tanda siaga. Curiga mengajarkan ksatria harus siap dan siaga, namun tidak boleh sembarangan menunjukkan senjatanya. Bahkan, sebenarnya kekuatan atau senjatanya harus lebih sering disembunyikan
Syarat terakhir adalah kukila alias hobi. Di masa lalu, hobi dilambangkan dengan memelihara burung. Syarat ini mengajarkan agar ksatria harus punya jeda agar bisa merenung dan memulihkan kekuatan jiwa dan raganya.
Seluruh syarat itu wajib dimiliki pria jika ingin disebut ksatria. Tidak punya salah satu, maka tidak layak disebut ksatria dan tidak bisa jadi pemimpin bila bukan ksatria.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H