Mohon tunggu...
Thibbur Ruhany
Thibbur Ruhany Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -

Tidak ada yang menarik dalam kehidupan saya. Tapi ketahuilah, hidup akan lebih menarik ketika bersama saya !

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Di Akhir Cerita, Sebuah Nama

26 September 2012   16:55 Diperbarui: 24 Juni 2015   23:38 232
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

Gemerincing giwang di kaki-kaki para penari jalanan dan kenong yang bertalu-talu beriringan dengan gemuruh kendaraan siang itu. Matahari memuncak. Dari utara bertiup angin kering yang jarang.

Ctar ! Mencambuk hitamnya jalanan.

Bercerita sebuah ironi kebangsaan yang dikisahkan para politisi dan budayawan. Pers berebut tulang, anjing berebut berita. Cahaya bangsa terbias kotak layar kaca.

Turunnya popularitas pemerintahan dibarengi dengan konflik di sebagian besar wilayah Indonesia. Persaingan pasar besar-besaran yang terjadi di seluruh pulau. Perombakan kabinet yang sarat dengan nepotisme. Pulau paling timur dan paling barat meminta panggung dan jalan cerita mereka. Entah itu mengemis, memaksa, meronta, membakar, membunuh.

Kalangan mahasiswa tampil sebagai garda penggerak utama perubahan bangsa. Berteriak di tengah keringnya cipta, karya, dan karsa dari bangsa ini.

Sedang setiap hari, belenggu korupsi menistakan kaum-kaum yang tak pernah menyentuh cuilan dari hak-hak mereka yang kandas dan dikandaskan. Pemerintah masih diam. Juga kaum papa tak pernah menyalahkan mereka.

Bangsa apa kita ini ?

Bangsa yang pelupa.

Seringkali aku berpikir bahwa situasi nasional selesai di tangan media. Aransemen di tangan seniman-seniman ulung. Bersama mereka kita menyesal, marah, memaki, menggunjing, meludah jijik, mengerutkan kening, trenyuh melihat kondisi bangsa ini. Namun sekali lagi, politik adalah senjata super sekaligus sutradara yang ulung. Konflik yang dimunculkan dibiarkan menggantung tak pernah selesai.

Hebat ! dan Keparat ! Ya, aku harus memaki karena belum saatnya giliranku tampil di atas pentas. Sekarang hanya memaki dan memaki.

**

Penghujung Tahun 2011

Hujan pertama belum juga turun di akhir bulan ini, disana-sini bertiup angin kering yang jarang. Membawa serta butiran-butiran debu jalanan. Matahari sedang ganas dan trengginas, membakari apa saja dengan semburat cahayanya. Di tengah lalu lalang berkibar panji-panji dwi warna yang menyibak perlahan. Menambah padat lalu lintas di atas aspal jalanan, panas menyengat.

Keadaan nasional masih tetap tak berubah, aksi massa para mahasiswa semakin hari semakin menjadi. Ibarat jamur di musim hujan, bermunculan satu persatu organisasi mahasiswa yang bersuara, berteriak, melengking, dan melenguh. Ya, mereka harus ikut memaki !

Keparat !

Masyarakat kasta lain ikut memaki. Yang bosan memaki, menutup mulut dengan merenda benang yang di anyam mengitari bibir. Di Mesuji, konflik berkepanjangan aparat, pejabat, pengusaha, dan masyarakat bawah berujung ludes terbakarnya kantor polisi. Yang dibawah tak kuasa, dibantai, dibunuh, dibredeli isi perut mereka dengan badik dan senjata api. Dibuang di balik semak-semak. Di Tanjung Puting, pusat perlindungan dan rehabilitasi orang utan – Lakey menjadi sarang perburuan para bangsawan perkebunan.

Ratusan, bahkan ribuan nyawa menjadi korban. Sudah tak terhitung.

**

Warung kopi milik kang Poyok itu sengaja dibuat sesederhana mungkin. Cahayanya bergantung pada sebuah lampu teplok, dibawahnya terdapat tiga ceret yang dibuat melingkar di atas bara api. Segala makanan ringan, mulai dari gorengan, sate usus dipasang berjajar, memanjang di samping lingkaran ceret. Nasi bungkus seharga seribuan di letakkan di tempat paling ujung.

Riuh ramai pejanja kopi di bawah beton penyangga jembatan layang, tertawa dan bertingkah semaunya. Sesekali terdengar geladak roda-roda para pemain skateboard dan suara deru mesin di jalanan, menambah riuh suasana. Sang rembulan belum larut dalam pekatnya malam, seolah menemaniku menikmati secangkir kopi yang hitamnya tak kalah hitam dari langit malam ini.

“Indonesia belum berubah,” aku berujar memulai pembicaraan.

“Takkan pernah berubah dan selalu berdarah Nggi,” Rambu meneruskan.

“Ibarat Van Den Bosch yang menanam pondasi jembatan Anyer-Panarukan, berapa nyawa Pribumi yang ikut di tanam sebagai tumbal ? Ratusan bahkan ribuan. Untuk menanam pondasi negara yang bernama Indonesia masih kurang kah ?”

Rambu tak segera menjawab, disempatkannya mengepulkan asap-asap rokok ke udara. “Pondasi belum jadi, ratusan dan ribuan jadi korban. Pilar dan atap yang mereka sebut-sebut demokrasi pun belum utuh dan bulat sepenuhnya,” jawabnya.

“Haruskah kita berlama-lama menunggu giliran yang tak kunjung tiba ?”

“Harus, belum saatnya kita tampil di atas pentas. Biarkan tokoh-tokoh antagonis memainkan cerita sang sutradara. Juga biarkan tokoh-tokoh lain bergelimpangan menekuri darah yang mengucur deras dari kerongkongan mereka. Kita belum sampai pada cerita sang pahlawan.”

“Mungkin pendapatmu ada benarnya Ram. Tapi menurutku sudah saatnya kita memainkan peran kita Ram. Predikat agen pembawa perubahan bukan sandangan pembalut selangkangan. Ikuti alur dan naskah sedari kita membasahi kaki, tangan, dan pikiran kita dengan air suci yang bernama pendidikan.”

“Segala sesuatu pasti mengalami fase belajar. Orang Jawa bilang jangan pernah nggege mangsa, jangan memotong masa yang akan tiba. Tapi Nggi, aku takkan menyurutkan keinginanmu. Karena hanya kamu yang bisa memastikan bagaimana akhir cerita di atas pentas. Jadi pahlawan atau korban keganasan pedang.”

“Ram, aku takkan memotong masa itu. Aku yakin sudah tiba giliranku, jadi pahlawan atau korban-pun takkan ku ambil peduli. Setidaknya aku telah berusaha membawa pentas ke tahap akhir, dimana hari itu akan datang, hari ketika pahlawan menutup cerita dengan akhir yang bahagia,”

Sejenak Rambu mengerutkan kening.

“Merokoklah dulu Nggi,” disodorkannya sebungkus rokok merek Djarum dihadapanku, ia melanjutkan, “Jangan terlalu seriuslah denganku. Aku tahu kita berbeda prinsip sedari dulu, dan aku yakin, kamu tahu yang terbaik untuk dirimu sendiri. Ayoh, kopinya diminum dulu !”

**

Pertengahan Tahun 2012

Tujuh bulan sejak malam itu aku tak pernah bertemu Ranggi, tidak di warung kopi, tidak juga di bawah pilar maupun atap yang sering kami diskusikan dulu. Ketidak cocokan kami terlihat sejak kami membasahi kaki, tangan, dan pikiran kami dengan air suci bernama pendidikan - begitu kata Ranggi. Aku masih ingat betul ketika ia memutuskan bergabung dengan organisasi yang ternyata tidak sealiran denganku. Kanan dan kiri.

Ya, meskipun aku tahu perjuangan dan perjalanan ke titik penghabisan naskah ceritaku berbeda dengan Ranggi. Namun aku selalu ingin tahu apa yang terjadi dengan panggungmu Nggi. Masihkah kamu memaki, berteriak, dan bercerita tentang akhir cerita sang sutradara ?

Hari kesepuluh di bulan ini, kubaca sebuah pesan singkat yang benar-benar singkat. Tetaplah berjalan mengikuti alur cerita, jangan lewati batas itu ! By : Ranggi. Pesan itu harus aku baca berulang-ulang. Apa maksudnya ? Untuk siapa dan untuk apa ? Entahlah, aku sendiri tak mengerti.

Aku hanya mengerti bahwa sudah saatnya bangsa Indonesia kini membangun pilar dan atapnya. Pondasi telah tertanam kokoh bersama tumbal yang berjuang tanpa sia-sia. Dan aku tahu di antara mereka tersemat sebuah nama.

Ranggi.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun