manusia. Jalan yang lurus dikandaskan seolah-olah memiliki ujung di mana kehendak Tuhan yang Maha Adil bersemayam, namun manusia asal tak lepas dari kontaminasi sapuan nafsu buasnya sendiri. Jalan lurus bisa saja menjadi mimpi buruk bagi mereka yang haus akan kekuasaan dan kejayaan, walau tak sedikit justru sebaliknya.
Dongeng leluhur yang dulunya mengajarkan etika berharga tak segan mengungkap dahaga akan keadilan yang kian luntur dari jiwaKeindahan filosofi hukum kerap kali tersembunyi di balik misteri yang akan selalu membelenggu umat manusia. Aturan-aturan, sanksi, pelanggaran dan pembelaan mendadak menumbuhkan labirin di hamparan batu jalan yang lurus. Beban mutlak penghindaran dosa dan pelaku kejahatan terasa berat pada diri pejalan yang selalu bersumpah untuk melangkah demi mencapai "jalan yang benar".
Kebanyakan orang menganggap elemen logika sebagai kunci pembongkar tabir rahasia jalan lurus. Padahal batu demi batu yang membentuknya bercerita tentang kebijaksanaan dan refleksi diri. Apapun nama mistis yang disemat pada aturan yang dibuat, rintangan yang di hadapi manusia dalam mencari keadilan selalu dimulai dan diakhiri dengan pertarungan batin diri masing-masing. Sang "api spirit" menopang tekad meluruskan prinsip, tetapi ledakan "napas nafsu" sering menghancurkan semua kepekaan terhadap keindahan etika tradisional yang selama itu dibangun dengan sabar.
Harapan akan keadilan mutlak mendorong manusia menjadi instingtif dalam bersikap dan berpikir. Ironisnya semakin intens "jalan lurus" dicari, titik temu antara ego dengan etika menjadi sulit karena esensi kemanusiaan mulai runtuh oleh labirin hukum yang diciptakan oleh logika manusia sepihak. Seperti layaknya sebuah mimpi, dilema jalan lurus akan terus menghantui aspek moral manusia, hingga suatu saat, ia terbangun dan menemukan keadilan melalui belas kasihan bukan logika.
Seperti sang lutung yang melompat dari dahan ke dahan mencari buah yang menggoda, manusia melompat dari aturan ke aturan mencari keadilan yang dinanti. Tetapi semakin lama melompat, semakin jauh pula ia terpisah dari inti esensi jalan lurus tersebut: cinta kasih.
Keadilan tanpa belas kasihan hanyalah kekuasaan berpakaian etika. Aturan tanpa hati nurani hanyalah otoritas buta. Manusia sempurna membaurkan setiap komponen tersebut di jalan hidupnya yang lurus: menghargai aturan dengan belas kasihan namun tidak pernah lupa akan nurani. Barulah keadilan sejati dapat terwujud.
Tradisi besar tak ubahnya seperti pohon besar. Ia membutuhkan banyak akar rapuh yang terus berganti. Akar-akar baru harus tetap terhubung pada inti kebenaran yang tak berubah, sedangkan cabang-cabangnya juga membiarkan udara segar masuk. Begitulah jalan lurus yang sejati: tetap setia pada hakiki tetapi terbuka pada taqwa.
Keindahan paradoks terletak pada kebenaran bahwa esensi jalan lurus sebenarnya rumit namun sederhana. Kekompleksan hukum yang memusingkan hanyalah bayang-bayang yang mengaburkan sinar kebenaran luhur bahwa jalan ke adilan hanya dicapai melalui cinta kasih dan pengorbanan. Ketika manusia terlepas dari belenggu egonya dan menyatu dengan kebenaran mutlak, otomatis ia menemukan jalan lurus yang ia cari.
Semoga artikel ini dapat sedikit menyingkap esensi murni dari dilema jalan lurus yang selalu menghantui umat manusia dalam pencarian keadilan. Di balik labirin hukum logis yang rumit, hakiki tersembunyi dalam simpelitas keyakinan akan cinta kasih sejati.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H