"Terima kasih, untuk Bapak aja."
Kalimat santun, namun tegas tersebut keluar dari mulut Imron. Mohammad Imron nama lengkapnya. Â Pemuda berusia 25 tahun ini memang bukan pejabat tinggi atau politisi elit. Namun, kejujurannya menghantam ego para petinggi dan meruntuhkan kepongahan para kelas elit. Imron hanya seorang alit yang bekerja sebagai Pekerja Harian Lepas (PHL) di PTSP Kelurahan Kota Bambu Utara. Imron belum diangkat menjadi Pegawai Negeri Sipil (PNS) dan memang tak ada jaminan ia bisa diangkat menjadi PNS.
Mengapa demikian?
Ukuran diangkat menjadi PNS saat ini lebih dominan kepada aspek kognitif, sehingga hanya mereka yang berasal dari lulusan universitas ternama dengan IPK tinggi lah yang bisa lulus seleksi. Saya bertaruh orang seperti Imron yang sederhana dan bukan lulusan PTN ternama akan sulit menembus ujian yang berlapis tersebut.
Nama Imron sontak ramai diperbincangkan karena kejujurannya menolak pemberian seorang yang merasa terbantu dengan pelayanan yang diberikannya. Postingan seseorang yang terkesan dengan sikap santun dan tegasnya itu membuat Gubernur Anies memberikan apresiasi secara langsung dengan menelepon Imron. Dalam telepon, Pak Anies mengucapkan terima kasih atas integritas yang ditunjukkan.
Kisah Imron sebetulnya bukan yang pertama di organisasi PTSP yang saya pimpin hampir 3 tahun ini. Â Banyak kisah yang muncul tentang perjuangan para pegawai kecil berjiwa BESAR seperti Imron. Tahun lalu, saya mendapati seorang petugas Antar Jemput Ijin Bermotor (AJIB) yang dibajak oleh perusahaan ternama. Bukan tanpa sebab, sang Dirut tertarik dengan yang bersangkutan lantaran terkesan dengan kejujuran sang petugas yang menolak pemberian sang Dirut. Parahnya, hal ini dilakukan berulang kali.
Sang Dirut sontak berkata, "cari orang pinter banyak, tapi cari orang jujur susah."
Ia langsung memerintahkan Direktur Personalia untuk merekrut petugas AJIB tersebut. Dan, hingga saat ini, si petugas telah diangkat menjadi seorang manager di anak perusahaan-perusahaan tersebut di Bali.
Kisah dan cerita seperti Imron memang tidak menarik untuk diangkat menjadi berita, kalah seksi dengan berita tentang reklamasi atau Alexis. Media pun biasanya tidak akan mau menulis tentang kisahnya di halaman depan sebagai headlinedan berita utamanya. Â Di tengah gersangnya tauladan yang bisa ditunjukkan oleh para petinggi republik, kisah Imron seperti menjadi oase bagi kita yang merindukan praktek-praktek zuhud dan warak dari tokoh semacam Bung Hatta dan Baharudin Lopa.
Ketika kepadanya ditanyakan apa yang membuatnya melakukan perbuatan terpuji tersebut, dengan lugas Imron menjawab bahwa didikan orang tua tentang kejujuran dan kebenciannya terhadap praktek pungutan liar. Dahulu sebelum menjadi PHL di PTSP, ia sering dimintakan uang semacam pungli oleh petugas jika ada keperluan mengurus perizinan di kantor pemerintahan. Dari sana lah ia bertekad jika suatu waktu diberi kesempatan berada di posisi sebaliknya, ia akan hilangkan praktek pungutan liar. Dan ternyata, ia telah buktikan itu. Sejak ia diterima menjadi PHL hingga sekarang, puluhan kali terima kasih ia haturkan saat ia mengembalikan "hadiah" dari warga. Tekad yang kuat serta semangatnya yang membara menegaskan bahwa pungli harus jadi akronim semata yang tidak pernah dikenal lagi kelak nanti. Dia lah yang menjadi penghuni sudut Museum Revolusi Pelayanan Publik.
Kembali kepada kisah Imron. Merupakan penting adanya apabila menaruh nilai "integritas" sebagai indikator pertimbangan penerimaan PNS. Hanya integritas yang akan melambungkan suatu organisasi dan melewati ekspektasi banyak orang untuk meninggalkan bangsa ini sebagai bangsa yang jauh tertinggal.