Cinta tanpa syarat yakni mencintai karena cinta itu sendiri. Mencintai sesuatu karena cintanya terhadap sesuatu itu. Misal seseorang yang cinta terhadap komputer, sehingga selalu bersama komputer seharian. Seseorang yang cinta bermain gitar, akan bermain gitar sepanjang waktu. Orang yang cinta terhadap melukis, belajar, membaca, berhias, bermain sepak bola, berenang, fitness, dan sebagainya. Jika mencintai orang karena orangnya, bukan karena hal-hal yang melekat pada orang tersebut. Misal karena orang tersebut kaya, keturunan keluarga terkenal, darah ningrat, mata biru, dan sebagainya. Jika karena satu hal/alasan untuk mencintai seseorang, maka batallah cinta tanpa syarat itu sendiri. Menjadi cinta dengan syarat.
Cinta tanpa syarat yang akan kita fokuskan kali ini adalah bagaimana kita mencintai anak-anak kita tanpa syarat apapun. Kita mencintai anak karena hadirnya anak dalam hidup kita. Karunia yang dititipkan kepada kita untuk dibesarkan menurut tujuan penciptaannya di dunia ini. Dimana tujuan penciptaan setiap anak berbeda. Indikator sederhananya adalah kebahagiaannya dalam hidup. Misal ada yang menjadi pemain sepak bola, musisi, artis, scientist, guru, pengusaha, yang saat ditanya menjawab karena senang dengan profesi yang digeluti dan menikmatinya.
Konsep cinta tanpa syarat yang dibahas kali ini adalah aplikasi dari teori Carl Rogers, seorang tokoh Psikologi Humanistik, tentang penerimaan tanpa syarat (Unconditional positive regard). Teori tersebut menjelaskan bahwa sikap penghargaan tanpa tuntutan yang ditunjukkan terapis pada klien, sangat bermanfaat dalam pemecahan masalah. Jika individu menerima cinta tanpa syarat, maka ia akan mengembangkan penghargaan positif bagi dirinya, dimana ia akan dapat mengembangkan potensinya untuk dapat berfungsi sepenuhnya. Jadi, jika kita mengembangkan cinta tanpa syarat kepada anak, mengizinkannya tumbuh dan berkembang dengan senang, semangat, merasa dirinya berharga, maka potensi anak akan muncul dengan sendirinya.
Sekarang mari kita lihat bagaimana keseharian kita bersama anak-anak yang kita cintai ini. Apakah kita senang jika anak mendapat nilai bagus di sekolah? Jika anak menjadi juara kelas atau juara umum? Jika anak mendapat beasiswa? Jika anak punya mainan mahal? Jika anak bisa foto selfie di luar negeri? dan sebagainya. Tidak ada yang salah dengan semua itu, namun pertanyaannya adalah apakah anak senang? ataukah orangtuanya saja yang senang? atau anak dan orangtua sama-sama senang dan menikmati kebersamaan? Tentunya yang terakhir adalah hal yang kita sepakati, bukan?
Sudah umum sekali kita lihat fenomena yang ada di masyarakat saat pembagian raport sekolah. Ada perasaan deg-degan takut kalau nilai anak jelek atau semangat dan percaya diri karena anaknya yang sering mendapat nilai bagus pada saat ulangan pastilah mendapat nilai bagus pula di akhir semester bahkan mendapat ranking. Bahagialah bagi anak yang selalu mendapat nilai bagus karena senang belajar dan memiliki orangtua yang senang dengan anaknya dan mendukung hal-hal yang menunjang prestasi anak. Hal ini yang sering terjadi karena anaknya juga senang sekolah dan belajar.
Namun bagaimana dengan anak-anak yang dalam kondisi tidak seperti di atas. Anak yang meskipun mendapat nilai bagus atau ranking satu namun wajahnya tidak ceria karena dia tidak bahagia. Ia memaksakan diri belajar dan berusaha keras memenuhi harapan orangtuanya, yang bukan keinginannya sendiri. Ada lagi misalnya anak yang nilainya selalu kurang betapapun kerasnya dia belajar, namun orangtuanya tetap memaksakan belajar agar mendapat nilai tinggi. Ada juga anak yang sebenarnya mampu untuk mendapat nilai tinggi, tapi dia tidak suka sekolah, namun harus terus sekolah, tidak ada alternatif lain, sehingga nilainyapun anjlok. Pemahaman tersebut menunjukkan seolah-olah hanya dengan mendapat nilai tinggi di sekolah, baru bisa hidup dengan layak dan memiliki masa depan yang cerah. Padahal jika kita lihat pemain sepak bola dunia seperti Messi dan Ronaldo, apakah mereka memakai semua mata pelajaran di sekolahnya sekarang?
Dr. Foster Cline dan Jim Fay, penulis buku Parenting with Love and Logic, mengatakan bahwa anak yang dididik dengan gaya orangtua yang militer (yang harus menuruti perintah orangtua tanpa kompromi) dan helikopter (selalu membantu anak segalanya), akan menjadi anak-anak yang mungkin baik terhadap orangtua ketika masih kecil, tetapi kemudian tidak hormat dan memberontak setelah remaja. Mereka akan menjadi anak yang tidak siap menghadapi tantangan setelah dewasa. Anak-anak ini juga payah dalam mengambil keputusan.
Jika ini yang terus terjadi, dimanakah ada cinta tanpa syarat? Cinta yang menunjukkan bahwa kita mencintai anak karena hadirnya anak dalam hidup kita. Cinta yang membuat kita bahagia sepanjang waktu bersama karunia yang dititipkan ini kepada kita. Cinta dengan menikmati kebersamaan orangtua dengan anak. Inginkah kita hidup dengan bahagia, menyenangkan, damai, penuh semangat, dan suka cita dalam keluarga? Dimana rezeki melimpah ruah dalam keluarga yang berkah karena bahagia, yang mudah-mudahan bisa menginspirasi keluarga yang lain. Jika ya, mari kita tumbuhkan cinta tanpa syarat untuk anak.Â
"Dengan lebih mencintai anak dibanding keberhasilannya, maka kita menunjukkan pada anak bahwa dirinya lebih berharga dibanding kumpulan prestasi-prestasinya".
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H