Untuk iman, suatu kepercayaan tunggal tanpa pembuktian ataupun alasan, kita mestinya tak tergoyahkan.Â
Lalu bagaimana agar tetap terus percaya dan bertahan? Walaupun berjalan tanpa dasar, kita seharusnya perlu akan sebuah pengertian, sebuah kekuatan bagi kita sekaligus pegangan dalam melangkah di tengah badai ketidakpastian yang akan datang.
"Jika Allah telah menjadi pertanyaan, maka Allah sendiri pun dapat menjadi jawaban."
~ Franz Magnis Suseno
Professor filsafat ini akan mengajak kita untuk jalan-jalan ke Tuhan melalui pikiran.Â
Ia memulai tulisannya dengan pertanyaan "Menalar Tuhan; untuk apa?." Jawabannya adalah pikirannya manusia yang tak terbatas. Pengetahuan kita memang terbatas, tetapi tidak dengan wawasan berpikir. Manusia adalah makhluk yang tidak pernah sampai, tak ada pengetahuan apapun yang bisa membuatnya bertanya lebih lanjut. Itulah mengapa kita menalar Tuhan. Justru, mereka yang percaya kepada Tuhan merasa terangsang untuk menalar yang mereka imani, fides quaerens intellectum, "iman mencari pengertian".
Pertanyaan tentang Tuhan tidak datang dari udara kosong. Manusia sudah lama menyembah Tuhan dalam pelbagai bentuk. Menalar Tuhan pun sejak permulaannya telah menjadi obsesi manusia. Misalnya menggapai Tuhan melalui pikiran menjadi hasrat tertinggi filsafat. Filsafat India, berkecamuk dengan pertanyaan apa yang sebenarnya menjadi dasar segala-galanya. Filsafat Yunani, mendobrak keagamaan dewa-dewinya dengan bertanya tentang hakekat dunia. Kemudian Plato yang dianggap filosof paling besar, menempatkan Tuhan di pusat dan puncak segala rindu manusia dan alam.
Di permulaan abad ke-21 ini, kembali menghadapkan  manusia intelektual yang tetap percaya Tuhan dengan pertanyaan: apakah imannya lebih daripada sekadar warisan indah tradisi-tradisi yang sudah berumur ribuan tahun? Apakah masih masuk akal untuk percaya Tuhan?
Barangkali pertanyaan ini di Indonesia tidak terlalu penting, karena manusia kita kental beragama. Kita tidak berkekurangan tetapi bahkan berlebihan dalam berketuhanan. Bisa dilihat pada media-media sampai hari ini candu akan agama dan berita orang-orang berketuhanan. Tetapi kita, manusia Indonesia, tidak cukup hanya bertuhan kita perlu mempertanggungjawabkan. Disinilah perannya nalar, selain iman, dengan segenap kemanusiaan kita perlu mengerti Tuhan.
Menurut Romo Magnis, salahlah kalau manusia dilarang untuk berpikir tentang Allah dengan alasan bahwa Allah "terlalu tinggi" untuk dicapai akal manusia. Ia menyatakan betul, Allah terlalu tinggi, tetapi bukan hanya bagi nalar manusia melainkan terhadap segenap pembicaraan tentang-Nya. Jika memang demikian, maka berkhotbah merupakan dosa paling besar, karena nalar hanya mengerti sedikit-sedikit, sedangkan sang pengkhotbah mengklaim apa-apa yang dikehendaki Allah.Â