Ada Toleransi di Balik Silaturahmi
Tradisi, sebuah kebiasaan yang dilakukan secara berulang. Bahkan dilakukan secara turun temurun dan menjadi warisan bagi keturunan berikutnya. Tentu tradisi yang baik yang dilakukan tersebut.
Persaudaraan atau persahabatan akan selalu terjaga dengan saling mengunjungi, saling bertegur sapa dan berbagi cerita. Ada cerita suka dan cerita duka serta cerita lucu. Semua akan menjadi satu dalam sebuah acara silaturahmi. Silaturahmi dilakukan untuk mengeratkan tali persaudaraan. Persaudaraan akan semakin kuat dengan adanya saling bertemu.
Tradisi saling mengunjungi dan bersilaturahmi sering diadakan oleh orang-orang dalam rangka memperingati hari raya keagamaan. Orang yang beragama Islam akan membuka pintu lebar-lebar bagi para sahabat dan kenalan pada waktu merayakan Idul Fitri. Mereka saling memaafkan dan bergembira bersama di hari yang fitri itu setelah melakukan sebulan berpuasa.
Demikian juga bagi umat Kristen, mereka akan menerima tamu para saudara dan sahabat ketika merayakan hari Natal. Pada saat itulah para kenalan dan sahabat berkunjung menanyakan kabar dan bercerita banyak tentang hal-hal yang dialami selama tidak bertemu.
Warga etnis Tionghoa juga melakukan hal yang sama pada saat merayakan Imlek. Rumah mereka akan ramai dikunjungi banyak orang. Mereka bergembira bersama makan minum dan bercanda ria merayakan tahun baru tersebut.
Itulah salah satu tradisi yang baik yang ada di kota Jambi, kota kecil di mana saya dan keluarga tinggal. Tradisi ini sudah ada sejak saya berada dan tinggal di kota ini. Bahkan mungkin sudah ada sejak lama, sesbelum saya  menempati rumah di kota Jambi. Saling mengunjungi tak peduli agama suku dan rasnya. Bergabung menjadi satu melebur dalam acara silaturahmi yang dilakukan setiap tahun. Menyantap hidangan yang disediakan sambil bersenda gurau. Tak ada kesedihan dan saling curiga, yang ada hanyalah suka cita bersama memeriahkan hari raya.
Maka dalam setiap tahun setidaknya tiga kali kami mengadakan silaturahmi atau saling kunjung di hari raya keagamaan. Dari acara silaturahmi tersebut tersirat sebuah toleransi tingkat tinggi. Orang tidak lagi menanyakan apa agamamu, atau kamu suku apa, seolah kami sama, dan memang kami sama di mata Tuhan. Berjabat tangan, bahkan saling berpelukan, makan dan minum di meja yang sama merupakan wujud persaudaraan yang sangat baik. Tak ada lagi kotak agama, kotak suku, atau status sosial yang memisahkan kami.
Agama yang dianut warga di kota Jambi adalah Islam, Kristen/Katolik dan Kong Hucu serta Buda. Saling mengunjungi merupakan salah satu bentuk toleransi kami warga kota Jambi.
Dengan bersilaturahmi banyak kebaikan yang diperoleh, bukan hanya sekedar makan minum secara gratis, tetapi lebih dari itu persaudaraan di tengah keberagaman. Semoga toleransi ini tetap terjaga sampai kapan pun selama negeri ini bernama Indonesia.