Tradisi Rewang
"Timunnya diiris lagi, masih kurang."
"Kolnya belum dicuci."
"Aku masih menunggu tahu goreng, ya."
"Mbah, tolong bungkusin lagi nasinya."
Suasana dapur saat itu begitu ramai. Mereka adalah sekelompok ibu dari segala usia. Ada yang masih sangat muda, ada yang setengah baya, ada yang pantas dipanggil nenek. Mereka bekerja sama membantu keluarga yang akan mengadakan hajatan.
Sebuah acara pesta pernikahan dari seorang warga di desa Gading Jaya, Kecamatan Tabir Selatan, Kabupaten Merangin akan segera digelar. Tentu banyak hal yang harus dipersiapkan yang tidak bisa dilakukan sendiri oleh yang punya hajatan.Â
Membutuhkan banyak bantuan dari tetangga sekitar tempat tinggal agar semua rencana bisa terlaksana dengan baik. Merasa senasib sepenanggungan, maka mereka saling membantu mengerjakan, antara lain dalam menyiapkan hidangan yang diperlukan untuk menjamu para tamu undangan.
Di sanalah warga menampakkan semangat gotong royong yang memang merupakan semangat yang sudah dimiliki oleh bangsa Indonesia.
Mereka telah berhasil menghilangkan sekat-sekat pembatas kehidupan, mengesampingkan sejenak aku nya. Berbaur melebur menjadi satu, menciptakan sebuah persaudaraan yang baik. Datang dengan suka rela bertujuan meringankan beban warga yang sedang kerepotan.
Semuanya dilakukan dengan senang hati. Terlihat dari wajah-wajah yang ceria ditambah canda tawa mereka. Celetukan yang lucu disambut dengan tawa yang riuh membuat suasana makin hangat. Indahnya kebersamaan mereka tunjukkan melalui bekerja bersama. Ketika waktu makan tiba, mereka pun akan makan bersama.
Ketika perbedaan bukanlah menjadi halangan dan batu sandungan memang sangat menyenangkan. Belajar dari mereka para ibu di tempat ini, memberi semangat terutama kepadaku bahwa kehidupan yang baik dan menyenangkan masih ada.Â
Kehidupan yang nyaman di tengah perbedaan benar-benar ada bukan hanya slogan semata. Tidak saling mementingkan diri sendiri. Kepentingan orang lain tetap menjadi bahan pemikiran juga. Mereka sangat menyadari bahwa hidup tidak bisa dijalani sendiri. Harus ada orang lain yang menjadi partner untuk mewujudkan hidup yang tetap harus berjalan.
Bagi mereka pestanya seseorang merupakan suka cita bagi warga sekitar. Kerepotan sebuah keluarga juga merupakan kerepotan bagi warga yang lain. Pemikiran tepo sliro mereka terapkan. "Suatu saat aku pun akan mengalami hal seperti itu. Maka jika aku ingin diperlakukan baik oleh orang lain, aku pun harus memperlakukan orang lain dengan baik pula," begitu yang mereka pikirkan.
Alangkah indahnya jika contoh kehidupan ini bisa dilakukan oleh banyak orang. Tentu tak akan ada saling menyalahkan, bertengkar, bahkan mencelakakan orang lain. Mungkin kasus pembunuhan yang kini marak terjadi akan berkurang atau bahkan hilang sama sekali.
Saling menghargai, tidak mengedepankan kepentingan diri itu semua bersumber dari saling mengasihi. Mengasihi tanpa batas, karena sekat itu telah dihilangkan ditembus oleh satu kata "cinta".
Berada di desa beberapa hari telah membuka pengetahuan saya bahwa tradisi rewang (membantu) masih ada. Semangat gotong royong masih bisa dilaksanakan di tengah kemajuan zaman yang semakin pesat.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H