Mereka yang Ditunggu Kedatangannya
Mobil berwarna hitam itu meluncur pada tengah hari, saat yang tepat untuk beristirahat. Namun, mobil hitam ini tetap berjalan membelah keramaian kota untuk selanjutnya memasuki jalan berbatu, berdebu, dan berlubang.
Arah yang dituju sudah jelas dan pasti. Sebuah tempat di desa, perbatasan Jambi dan Sumatera Selatan. Jauh dari keramaian kota. Tak banyak kemudahan yang didapatkan di sana. Alat transportasi tak semudah seperti yang ada di kota. Â Masyarakat di sana harus menempuh jalan sangat panjang dan tidak menyenangkan untuk mendapatkan kebutuhan jasmani dan rohani.
Pasar, sekolah, tempat ibadah, harus ditempuh dengan susah payah. Penduduk terkadang harus menyerah dengan alam. Jika hujan turun, jalan sangat becek dan sulit dilalui oleh kendaraan. Memerlukan nyali yang besar untuk melewatinya.
Saat itu saya mengikuti perjalanan Romo dan 2 orang Suster. Mereka akan melayani kebutuhan rohani bagi umat yang ada di situ. Pelayanan ini tidak bisa dilakukan setiap Minggu, mengingat tempat yang jauh, tenaga terbatas yang tak sebanding dengan jumlah umat yang harus dilayani.
Maka pantaslah umat sangat merindukan kehadiran mereka. Umat  ingin mendapatkan sesuatu yang baru, yang berbeda yang bisa menyejukkan hati, memberi santapan rohani yang diperlukan untuk menjalani kehidupan sehari-hari.
Perjalanan panjang yang membuat tubuh bergoyang akhirnya berhenti di sebuah tempat. Terlambat 30 menit dari waktu yang ditentukan, inilah salah satu kelemahan yang sering terjadi. Lama perjalanan terkadang lepas dari prediksi. Keadaan jalan ikut menentukan dalam hal ini. Namun, mereka yang telah menunggu rupanya maklum dengan kejadian ini.
Sambutan yang ramah mampu menghilangkan rasa lelah. Mereka seakan tak kecewa dengan waktu yang telah beberapa menit terbuang. Hati yang gembira telah memaklumi segala hal yang membuat kecewa. Dalam kesederhanaan bersama umat merayakan  Ekaristi dengan penuh syukur. Tanpa hiasan altar, tanpa paduan suara yang menggema. Namun alunan doa itu tetap diyakini akan sampai kepada Penguasa Dunia.
Selesai di satu tempat beralih ke tempat lain. Kami berbalik arah. Kalau yang pertama, orang menyebut tempat itu dengan Pal 18, kami akan menuju ke Pal 3. Di Pal 3 ini sudah berdiri bangunan yang disebut Gereja, dan tersedia tempat untuk menginap. Â Di sinilah kami akan menginap, untuk selanjutnya merayakan Ekaristi pada esok harinya.
Sebelum sampai ke tempat ini, mobil berbelok ke sebuah rumah terbuat dari papan. Pemilik rumah adalah salah satu umat yang berada di lingkup pelayanan Romo dan dua orang Suster ini.
Keluh kesah yang diutarakan oleh salah satu umat dengan semangat dan juga emosi yang tinggi ini didengarkan dengan baik oleh Romo, yang juga kepala paroki Santa Teresia Jambi. Mengagumkan, Romo mendengarkan dengan tenang sampai seleai. Setelah itu baru memberi tanggapan seperlunya.  Di sini saya bisa  mendapatkan pelajaran baru, tenang dan rela mendengarkan.
Saat senja memberi waktu untuk sang malam, rombongan beranjak ke tempat kami menginap. Di sana sudah berkumpul para ibu yang akan berlatih paduan suara untuk perayaan Ekaristi pada hari Minggu. Jangan dibayangkan bahwa paduan suara tersebut seperti paduan suara dengan komposisi suara yang lengkap sopran, alto, tenor, bas. Sesungguhnya sangat sederhana, suara dari beberapa orang dicocokkan dengan nada yang tertulis. Jika itu sudah benar merupakan prestasi yang pantas diapresiasi.
Kedatangan dua orang Suster menjadi energi tersendiri untuk memacu semangat mereka. Romo paroki yang juga menemani beberapa menit dalam latihan malam itu cukup memompa semangat bagi mereka. Semangat berlipat untuk melakukannya.
Pengemudi yang mengantarkan kami juga berperan serta dalam latihan paduan suara malam itu. Kemampuannya untuk melatih olah suara cukup bagus. Beliau juga salah satu yang diharapkan kedatangannya oleh mereka.
Satu pelajaran lagi saya dapatkan, siap sedia membantu mereka yang membutuhkan. Ngantuk dan lelah seakan pergi sendiri ketika hati terbuka siap melayani. Tuhan melebihkan tenaga saat tenaga itu  disalurkan demi kebaikan sesamanya.
Pelayanan berlanjut saat pagi menyapa di hari Minggu. Sebelum merayakan Ekaristi, para Suster berkunjung ke rumah umat yang berdekatan dengan gereja. Rintik hujan, tanah becek tak membuat para suster itu khawatir pakaian putihnya menjadi kotor.
Sapaan yang lembut membuat umat yang dikunjungi merasa terhibur. Kebahagiaan hatinya muncul pada wajah yang berseri. Dengan sapaan dan berbagai cerita, dengan didengarkan, bisa mengubah hati  jadi berseri.
Pada pukul jam 09.00 perayaan Ekaristi di gereja itu diawali. Tidak banyak umat yang datang. Hujan yang mengguyur dari pagi jadi sebuah alasan. Namun hal itu tidak mengendurkan semangat Romo dan 2 orang Suster ini untuk melakukan pelayanan. Tetap melayani dengan ikhlas dan hati yang gembira.
Perjalanan kami berakhir setelah menyelesaikan Ekaristi di tempat yang ketiga. Tempat yang ini lebih mudah dijangkau dari pada kedua tempat sebelumnya. Letaknya di pinggir jalan raya membuat orang mudah untuk menemukannya.
Perjalanan dari hari Sabtu sampai hari Minggu itu memang terasa sangat panjang. Panjangnya perjalanan tersebut dapat memberi kesejukan kepada banyak umat yang selalu merindukan kehadirannya. Saya pun mendapatkan banyak pelajaran kehidupan yang membuat saya mengerti banyak hal.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H