Dul heran melihat istrinya sudah pulang dari warung. Padahal baru keluar rumah beberapa menit saja. Yang lebih mengherankan lagi istrinya tidak menenteng apa-apa. Tangannya bebas melenggang ke kiri ke kanan seperti pohon kelapa yang digoncangkan oleh angin. Wajahnya tidak semringah dan terkesan lesu seperti bunga mawar yang lunglai karena tersiram begitu banyak air hujan.
"Istriku mana belanjaannya? Katanya mau belanja kok pulang tidak membawa apa-apa?"
"Nggak ada yang dibeli, Mas."
"Maksudmu Uda tidak jualan?"
"Jualan sih."
"Apa sudah habis pagi ini, atau justru dia malah belum pulang dari pasar?"
"Sudah, sudah pulang."
"Nah, kok nggak bawa belanjaannya apa duitnya kurang?"
"Enggak, duitnya cukup."
"Jadi, kenapa?"
"Nggak kenapa-kenapa sih."
"Terus kita makan apa hari ini?"
"Makan nasi campur aja, Mas."
"Maksudnya kita beli di warung deket gapura itu?"
"Nggak, nanti di rumah aja."
Dul mengalami kebingungan 2 kali. Yang pertama ia bingung melihat istrinya pulang dari warung tanpa membawa belanjaan apa-apa. Yang kedua katanya hari ini makan nasi campur tetapi bukan beli di warung. Rasa penasaran itu membuat Dul melanjutkan pembicaraan, meskipun dilihatnya wajah istri  tidak secerah mentari pagi hari ini.
"Istriku, coba kamu jelaskan apa sih maksudmu?"
"Yang mana, Mas?"
"Dari yang pertama sampai yang kedua.
Yang pertama kenapa kok pulang dari warung tidak bawa apa-apa?"
"Yang mau ku beli nggak ada, Mas."
"Emang mau beli apa?"
"Kan aku mau beli minyak goreng, sama tempe atau tahu. Nah itu semuanya nggak ada. Minyak goreng katanya langka. Tahu tempe katanya nggak ada yang jual mereka pada mogok kerja karena harga kedelainya tinggi."
Dul hanya bisa geleng-geleng tanpa kata mendengar kata-kata istrinya.
"Tentang nasi campur itu?"
"Hari ini kita makan seadanya tanpa minyak goreng, tanpa tahu atau tempe. Jadi kita makan nasi campur. Maksudku nasi campur garam."
Dul mengurungkan keinginan untuk ketawa karena wajah manyun istrinya menampakkan kekesalan.
"Jangan-jangan pabrik minyak goreng tutup ya, Mas. Apa pegawainya juga mogok kayak pembuat tahu dan tempe?"
"Nggak tahu."
Mei tak melanjutkan pembicaraan pagi itu. Pikirannya sudah beralih ke nasi campur yang akan disantap bersama suaminya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H