76 tahun sudah usia negara kita tercinta. Merdeka, bebas dari penjajahan bangsa lain. Peringatan kemerdekaan dilakukan di mana-mana. Kemeriahan di tengah masa pandemi tetap terasa meskipun dalam suasana yang berbeda. Keluarga-keluarga berinisiatif untuk merayakan kemerdekaan dengan versi masing-masing.
Di hari merdeka ini ingatanku terbawa ke tempat yang jauh dari tempat tinggalku saat ini. Sebuah tempat bernama Petaling yang berada di kecamatan Sungai Gelam, kabupaten Muaro Jambi, propinsi Jambi. Tempat itu sepi jauh dari keramaian kota.
Seorang anak laki-laki bernama Mario, itu yang mengingatkanku. Ia anak sulung dari 3 bersaudara. Tinggal di sebuah rumah kecil beratap seng dengan penerangan yang disambung dari rumah nenek Yuliana.
Mario sekolah di sebuah SD. Ia kini kelas 3. Di masa pandemi ini sekolahnya membuat jadwal pertemuan tatap muka 3 kali seminggu. Mario berusaha mematuhi jadwal pertemuan tatap muka itu. Namun tekad yang besar itu tak membuat keinginan untuk sekolah bisa terpenuhi. Ia harus menunggu keberuntungan.
Jarak antara rumah dan sekolah cukup jauh. Ia hanya mengandalkan kebaikan orang lain untuk bisa sampai ke tempat belajar. Pagi-pagi laki-laki kecil ini harus keluar dari gang, berdiri di pinggir jalan besar untuk mencari tumpangan agar bisa sampai ke sekolah. Jika tidak ada ia akan kembali ke rumah, dan hari itu ia tidak sekolah. Hal itu terjadi berulang kali. Tentu ia ingin mengeluh dan menangis, tetapi hal itu seperti tak ada artinya.
Ayahnya yang seharusnya menjadi andalan keluarga telah beberapa bulan yang lalu meninggalkan rumah entah ke mana. Sedangkan ibunya tidak bisa berbuat banyak. Ia tidak bisa melakukan kegiatan seperti orang lain. Keterbatasan fisik telah membuat ia tergantung dengan kursi roda. Keterampilan menjahit menjadi andalan untuk menghidupi anak-anaknya. Jika tak ada orang yang memakai jasanya maka ia akan makan dan minum dari belas kasihan tetangganya.
Mario belum bisa membaca seperti seharusnya kemampuan yang dimiliki anak kelas 3 SD. Untuk merangkai huruf menjadi kata merupakan hal yang sulit. Sebuah kebanggaan saat ia bisa membaca dua suku kata dengan benar. Saya ikut gembira melihat wajahnya berbinar saat bisa menyelesaikan bacaan sederhana, kata-kata yang hanya terdiri dari 3 atau 4 huruf. Saya melihat ada semangat yang besar untuk bisa membaca.
Hatiku tergerak untuk membantunya. Memang bukan kapasitas saya untuk melakukan hal itu. Saya hanyalah seorang yang menyediakan diri untuk membantu guru baru di sebuah TK yang juga baru. Dua hari dalam seminggu saya melaksanakan tugas itu. Mario merupakan "tetangga" saat saya melaksanakan tugas itu.
Ada sebuah keprihatinan yang menyelinap di hati dan pikiran saya demi melihat Mario dan beberapa anak lain yang bernasib sama. Â Seharusnya Mario sudah bisa membaca, sehingga bisa membantu dirinya untuk belajar banyak hal. Semestinya ia bisa pergi ke sekolah dengan pasti jika ayahnya selalu siap untuk mengantar dan menjemputnya. Â
Keinginan saya untuk membantu terhalang jarak dan waktu. Perjalanan jauh dan penuh liku harus kutempuh selama sekitar 2 jam. Sekarang ini waktu telah memisahkan dan menjauhkan keinginan saya dan keinginan Mario untuk maju. Isolasi membuat diri saya tak bisa mengunjungi tempat itu untuk beberapa waktu. Janji saya untuk menemaninya membaca dan menulis harus tertunda beberapa saat.
Mario, anak laki-laki tanpa alas kaki, berkulit coklat, yang tak pernah melihat televisi, jauh dalam hatinya terpendam harapan untuk bebas dari keterbatasan yang ia rasakan saat ini. Di matanya terbentang harapan, "aku ingin merdeka".