Mohon tunggu...
Theresia Sumiyati
Theresia Sumiyati Mohon Tunggu... Guru - https://www.kompasiana.com/theresiasumiyati8117

Saya seorang ibu dengan 2 orang anak laki-laki. Senang membaca, menulis, dan bermain musik. Hidup terasa lebih indah dengan adanya bacaan, tulisan, dan musik.

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Pilihan

Refleksiku di Hari Ibu

22 Desember 2020   05:46 Diperbarui: 22 Desember 2020   05:50 175
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gaya Hidup. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Rawpixel

Refleksiku di Hari Ibu

Aku seorang wanita yang pernah berjanji di depan altar suci untuk membina rumah tangga bersama seorang lelaki yang kini adalah suamiku. Aku berjanji akan mencintai pasangan dalam suka dan duka, pada saat sakit maupun sehatnya. Aku juga berjanji akan menjadi ibu yang baik bagi anak-anak yang dikaruniakan kepadaku, akan mendidiknya dengan baik dan dengan penuh kasih sayang. Itulah janji yang mengawaliku menjadi seorang isteri dan seorang ibu.

Pada tahun berikutnya aku dikarunai seorang anak laki-laki yang sehat. Peristiwa yang bukan hanya mengggembirakan keluarga kecilku, tetapi juga sangat menggembirakan keluarga besarku. Mengikuti pertumbuhannya, aku merasa kagum dengan anugerah Tuhan ini. Betapa tidak, seorang bayi yang kecil dan lemah semakin lama menjadi besar dan kuat. Hati ini merasa berbunga-bunga saat mendengar anakku bisa memanggilku dengan satu suku kata "Ma". Rasa haru dan penuh syukur kepada Tuhan, yang telah mengaruniakanku kehidupan menyenangkan melalui anakku.

Empat tahun berikutnya aku melahirkan lagi seorang bayi lelaki. Saat itu anakku yang pertama sudah sekolah di TK kecil. Banyak hal yang menakjubkan dari dia. Salah satunya saat melihat adiknya untuk pertama kali, ia langsung membuat tanda salib untuk berdoa. Menetes air mata haru melihat hal ini, aku kembali bersyukur kepada Tuhan. Anakku sudah  bisa berdoa tanpa perlu disuruh. Entah doa apa yang ia ucapkan saat itu, semoga merupakan syukur atas kelahiran adiknya.

Hari-hari berikutnya kami berempat melalui kehidupan ini. Perkembangan dan pertumbuhan kedua anakku membuat cerita keluarga kecilku semakin berwarna. Kadang penuh kegembiraan tetapi tak jarang juga kesedihan menjadi lekat dengan keluarga kami. Hal yang sudah biasa dan memang harus  terjadi. Karena tak mungkin akan mengalami kegembiraan terus menerus. Juga tak mungkin akan mengalami kesedihan terus menerus. Maka kuikuti saja apa yang terjadi dengan keluarga kecilku.

Seperti saat anakku menginjak usia SMA, dan memutuskan untuk bersekolah di kota lain. Rasa berat berpisah dengannya. Aku merasa anakku masih terlalu kecil untuk berpisah dariku. Kekhawatiranku membuat aku melarangnya untuk melakukan hal itu. Aku merasa ia masih anak-anak, belum saatnya berpisah denganku.

Perlu proses panjang untuk meyakinkan diriku, untuk akhirnya memberi ijin kepada anakku bersekolah di tempat lain yang jauh dariku. Betapa berat berpisah dengan anakku. Rasa sepi dan rindu kadang begitu berkecamuk di dalam hati. Tetapi kembali aku harus menyadarkan diri, bahwa anakku memiliki masa depan yang harus disiapkan. Berpisah dengan anak merupakan proses yang harus kujalani agar anakku bisa menyiapkan masa depannya. Aku harus menyadari, bahwa suatu saat dia akan hidup tanpa banyak memerlukan camputanganku.

Dua tahun setelah berpisah, anakku pulang pada saat liburan. Ada sesuatu yang kudapatan dari dirinya. Aku merasakan hal yang tak pernah kuduga. Anakku tumbuh dewasa, baik secara fisik maupun mental. Cara berpikirnya sudah berbeda dibandingkan saat masih berkumpul denganku. Kehidupan di asrama tempatnya sekolah telah memberi pelajaran berharga kepada anakku. Ia bukanlah anak-anak lagi yang merengek ketika ada masalah. Tetapi ia sudah bisa menyelesaikan sendiri masalah yang dihadapinya. Hal yang mungkin tak didapatkan jika anakku tetap berada denganku. 

Aku menyesal pernah tidak mengijinkan dia keluar meninggalkanku. Kini anakku sudah dewasa dan memasuki dunia kerja. Aku semakin bersyukur pernah berpisah cukup lama dengan anakku. Karena dia telah mendapatkan bekal untuk kehidupannya nanti.

Hari ibu ini merupakan refleksi bagi diriku sendiri. Menyayangi anak memang harus dilakukan oleh setiap orangtua. Menyayangi bukan berarti melindunginya dan tak mengijinkan dirinya jauh dari diri kita. Menyayangi berarti memberikan kebebasan kepada anak untuk menentukan masa depannya, termasuk memilih sekolah yang diingininya. Meskipun untuk hal ini, kadang orang tua harus mengorbankan perasaan seperti yang kualami. Menurutku itulah salah satu wujud rasa sayang terhadap anak dalam memberi bekal hidup kepadanya.

Rasa sayang ini tak akan pernah sirna bersama bergantinya waktu. Kusebut namanya di setiap doaku. Semoga anakku menjadi orang yang semakin dewasa, mandiri, dan peduli terhadap sesama.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun