"Oh, gitu, lain kali jangan nawari ibu ya, biar ibu dapat pulsa gratis."
      "Ah Ibu, bisa saja," kali ini tawa kasir itu semakin lebar. Terlihat deretan gigi bagusnya yang semakin menambah cantik kasir itu. Aku agak iri melihatnya, karena gigiku tak sebagus miliknya.
      "Semuanya sepuluh ribu dua ratus rupiah ya Bu."
      "Dua ratusnya mau disumbangkan ke saya?" tanyaku.
      "Haaaah?" kasir itu kaget oleh pertanyaanku. Tetapi itu tak berlangsung lama. Senyumnya telah membantu menemukan apa maksud pertanyaanku itu.
Biasanya ia yang mengatakan hal itu kepadaku, ketika aku berbelanja Rp 9.800,00 dan uangku Rp 10.000,00 kasir itu akan berkata, "Dua ratusnya boleh didonasikan, Bu?" demikian juga apabila aku berbelanja dengan nominal yang memungkinkan ada beberapa rupiah yang pantas untuk didonasikan.Â
Aku memang sering mengatakan ya jika kasir itu mengatakan hal itu, padahal dalam hati bertanya-tanya siapa saja sih yang mendapat donasi dari supermarket itu. Tetapi ketika aku keluar dari supermarket, pertanyaan itu telah hilang dari ingatanku. Pertanda aku tidak serius memikirkannya.
Aku menyelesaikan transaksi dengan uang pas. Kasir itu melayaniku dengan wajah ceria. Kulihat wajahnya masih tersenyum ketika menerima uang dariku. Kelelahan fisiknya setelah bekerja hampir 8 jam seakan hilang terpoles oleh senyum dan tawanya sore itu. Pembicaraanku dengan kasir itu memang sangat ringan, malahan terkesan tak ada hal yang penting. Tetapi aku merasa senang melihatnya dia tertawa lepas , bukan formalitas. Dan "dua ratus" itu telah membuatnya geli, dan hilanglah rasa penatnya, setidak-tidaknya seperti yang kulihat sore itu.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H