Mohon tunggu...
Theresia sri rahayu
Theresia sri rahayu Mohon Tunggu... Guru - Bukan Guru Biasa

Menulis, menulis, dan menulislah

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen | Teater Sunyi

11 April 2017   14:54 Diperbarui: 11 April 2017   14:59 664
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

 [caption caption="http://veneteater.ee/?attachment_id=5171"][/caption]Wein terduduk beberapa lama di bangku nomor lima. Di sekelilingnya terdapat deretan kursi - kursi beludru merah. Tampak indah dan ramah di pandangannya. Betapa tidak, Wein menghabiskan bertahun - tahun lamanya untuk sekedar menikmati pertunjukan teater di tempat itu. 

Beberapa lakon mempertunjukkan kisah bahagia, namun ada juga tentang duka. Di lain waktu, ada kisah cinta yang berakhir dramatis. Ahh, sungguh mengharu biru. Setiap hari Sabtu, minggu pertama setiap bulan, teater akan menyuguhkan pertunjukan baru. 

Wein bahkan tak sekedar menikmati alur cerita pada pertunjukan teater itu. Wein pun jatuh cinta pada para pemain teater yang sudah lama ia kenal. Di antara para pemain tetap teater itu, ada seorang pemain yang sangat ia sukai. Reinhard. Laki - laki berparas  sangat manis. Reinhard selalu mendapatkan peran utama. Wein dan Rein. Bukankah manis kedengarannya ? Khayal Wein. 

Wein selalu datang lebih awal. Ia menanti dengan gelisah, sampai karpet merah besar ditarik dan teater siap dimulai. Wein tak menyadari bahwa seseorang selalu memerhatikannya dari sudut ruang teater, setidaknya sejak Wein mulai masuk ke ruang teater hari itu. 

Para penonton sudah mulai memadati kursi - kursi beludru merah. Aneka gaun warna - warni dan sepatu high heels, tak tok tak tok memenuhi bergema di sepanjang lorong. Kumis - kumis tipis dan tebal, rambut halus berminyak dan dasi yang terkalung di leher adalah style tersendiri bagi para penonton teater. 

Tapi Wein tak memerhatikan semua hingar bingar itu. Ia menanti setiap detik waktu yang tersisa. Lima, empat, tiga, dua, satu. Bisiknya dalam hati. 

Kening Wein berkerut. Karpet merah tetap tertahan di posisinya. Apakah mereka belum siap tampil ? Mengapa pertunjukkannya belum dimulai ? Dan pertanyaan - pertanyaan lain berkecamuk dalam pikirannya. 

"Ahh, baiklah. Tidak terlalu buruk untuk menunggu beberapa saat lagi." Ujarnya pelan. Dalam sekejap ruangan teater yang sunyi, dipenuhi dengan teriakan, cacian, dan makian.  Wein bergeming di tempatnya, kursi nomor lima. Sementara orang - orang mulai tak sabar. Bahkan ada yang meloncat dari atas kursinya. Pandangan Wein tetap tertuju ke depan, ke arah panggung utama. Ia tak ingin melewatkan moment saat karpet merah itu bergeser dari posisinya. 

Sekilas Wein mendengar teriakan orang - orang yang makin keras di telinganya, "Lari ... lari ... keluarrrrr !"

Wein berpikir bahwa para penonton sekarang sudah mulai enggan menunggu walau beberapa saat. Ia menarik nafasnya, terasa sesak. Tiba - tiba ia melihat seseorang muncul dari balik karpet merah itu. Mulut Wein menganga lebar, ia menahan nafasnya. Itu adalah sang pangeran. Pangeran berkuda putih yang sangat tampan dan gagah. Pangeran itu berlari menghampirinya. Wein merasa gugup. 

Ia tak bisa berdiri dan sang pangeran mengangkat tubuhnya. Wein beberapa kali mencuri pandang pada sang pangeran. "Ohh, Reinhard." Bisiknya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun