Perempuan itu duduk di sana. Di antara barisan bangku kayu panjang. Ia dengan rambut kepangnya serta gaun bunga - bunga yang sederhana, selalu seperti lonceng yang begema di relung hatiku yang hampa. Sejak awal aku sudah menyukainya. Sikapnya yang santun dan penampilannya yang sederhana, selalu menjadi catatan - catatan penting dalam buku harianku. Pada awalnya bunga itu sangat indah, dan aku ingin memetiknya. Tapi aku putus asa. Kedua tanganku bahkan tak mampu menjangkaunya. Jika saja angin berbaik hati padaku, maka aku hanya bisa mencium wangi tubuhnya dari sisa - sisa aroma yang diterbangkan oleh sang angin.Â
Tiga ribu enam ratus detik lagi. Masih ada waktu, pikirku.Â
Kedua lututku mulai terasa gemetar. Usia bahkan tidak bisa menipu. Hampir separuh waktu, aku habiskan di tempat itu. Tempat yang tidak akan pernah aku rindukan, sekalipun aku masih bisa kembali. Kini aku kembali menengadahkan wajahku. Menerobos bias - bias cahaya yang terpendar dari barisan mozaik - mozaik kaca yang berkilauan. Seandainya saja aku pun memiliki hidup yang indah dan penuh warna seperti gambar pada mozaik kaca itu.Â
"Namaku, Bernadeth. Panggil saja Anneth." Ucapnya sambil mengulurkan tangannya.Â
"Aku, Peter." Balasku.Â
Perkenalan singkat dengan Anneth sore itu, seolah menghidupkan kembali harapan demi harapan yang semula sudah gugur. Seperti dongeng - dongeng yang pernah kalian dengar, seperti itulah kisahku bersama Anneth. Kami mulai saling berbagi tempat di Gereja. Saling menunggu, dan tentunya saling merindukan. Sampai tiba waktunya, Anneth dan aku memutuskan untuk menikah. Aku benar - benar berpikir bahwa pintu surga sudah menanti kebahagiaan kami berdua. Tetapi, sayang sungguh sayang, neraka pun lebih keji dari segala kenangan senja itu.Â
Aku melihat Anneth digandeng oleh seorang laki - laki berparas tampan dan gagah. Entah apa yang ada di pikiranku saat itu, namun satu hal yang pasti adalah aku tahu inilah saatnya para penghuni neraka bersorak menyambutku. Tanpa ada nada dan suara, tiba - tiba tanganku meraih sebuah batu yang ada di pinggir jalan. Lalu, semuanya terjadi begitu saja. Aku hanya berharap dapat lari sejauh mungkin. Lari dari perasaanku sendiri. Lari dari semua kebodohan dan dendam yang terus akan membayangi sepanjang hidupku.Â
Aku melihat Anneth yang kebingungan. Ia menangis meraung - raung. Mungkin saja saat itu langit pun bersedih, hujan turun seketika. .Aku menghambur ke dalam pelukan Anneth. Aku takut. Sampai - sampai tidak bisa bersembunyi. Anneth melihat sebongkah batu teronggok di sisi laki - laki itu. Batu berdarah. Aku mengangkat kedua tangan Anneth yang memerah. Lalu meletakkannya di atas kepalaku. Aku berharap Anneth akan memukul ku dengan kedua tangannya. Namun Anneth perempuan yang cerdas. Ia bahkan tidak bisa melukaiku.Â
"Serahkanlah semua beban hidupmu kepadaNya."Â
Aku menoleh ke sebelah kanan. Seseorang duduk di sana. Wajahnya seperti pernah kukenali. Entah di mana ? Di dalam Gereja ini hanya ada kami berdua. Aku bahkan tak menyadari kedatangan laki - laki itu. Dia tampak tidak terlalu tua. Tetapi sorot pandangan wajahnya begitu teduh. Aku merasa terhanyut dalam pesonanya.Â
Aku memilih tetap bergeming. Ia pun ikut berlutut di dekatku. Aku berusaha menutup kedua mataku. Tapi, aku tak bisa menutupi kesedihan yang terus mengalir di antara kedua pipiku yang menua.Â