[caption caption="Dokpri"][/caption]
ANAK – ANAK RUMAH MENARA
PART 1 : SEGELAS KOPI DAN BAGA
Dari balik jendela kayu kamarku, aku mengintip ke luar. Sudah mulai terang, rupanya hari sudah menjelang pagi. Sebenarnya, aku masih mengantuk. Semalam baru pulang mete1 dari rumah Bapak Frans. Namun, kuurungkan niatku untuk tidur kembali, ketika terdengar suara Mama memanggil dari dapur.
“Ibu …. Ibu …. Mari sini. Kita kadirung api2 di dapur.”
“Iya, Mama.” Jawabku.
“Ke luar lewat pintu depan saja, Ibu.”
“Iya, Mama.” Aku menjawab lagi.
Perlahan – lahan aku melangkahkan kaki di lantai rumah menara ini. Rumah menara adalah rumah adat tradisional bagi Suku Sumba, yang ada di Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT). Rumah ini terdiri dari tiga tingkatan, tingkat paling bawah merupakan tempat hewan – hewan, tingkatan kedua, merupakan tempat manusia, dan tingkatan ketiga, merupakan lumbung padi.
Lantai rumah menara terdapat pada tingkatan kedua. Lantai ini terbuat dari batang – batang pohon pinang yang dibelah menjadi dua. Kemudian disusun sejajar di atas pondasi rumah yang ditopang oleh balok – balok kayu lain yang lebih kuat. Sementara pintu bagian depan rumah menara, terdiri dari dua buah papan kayu johar, yang dipahat secara sederhana serta diberi lubang kisi – kisi di bagian atasnya.
Udara sejuk di pagi hari, menyambut tubuhku yang melangkah ke luar rumah. Sejenak kupandangi rumput – rumput hijau yang basah oleh embun pagi. Nuansa pelangi terlihat di butiran air yang bening seperti kaca. Sungguh, keiistimewaan harmoni pagi yang begitu sempurna.
Aku menghampiri Mama yang sedari tadi sudah berada di dapur. Satu panci besar berisi air, sudah panas. Kami duduk berhadapan di sekitar tular3. Sesekali Mama menyorongkan kayu mati, agar api tetap menyala. Aku membantu sekedarnya. Pelan – pelan rasa hangat menjalari tubuhku. Namun, pagi ini Mama banyak terdiam. Kecapaian ! Pikirku. Maklum saja, bulan ini Mama, Bapak dan semua warga di kampung mulai disibukkan dengan kegiatan menanam padi di sawah.
Padahal biasanya, Mama banyak sekali bercerita kepadaku, tentang musim hujan yang terlambat datang, suka duka menanam padi, mahalnya ongkos bemo4, sampai cerita – cerita masa dulu yang pernah didengarnya.
“Ibu ! Maika madidung ta baga5.” Ajakan Mama membuatku terkejut. Aku segera berdiri dan membantu Mama membawa air panas ke luar dapur. Mama masuk ke dalam rumah lewat pintu samping, dan mengisi air panas ke dalam termos. Aku hendak membantunya, namun Mama lebih senang menyuruhku duduk menunggu di baga.
Tak lama, Mama datang ke baga rumah kami. Bapak dan suamiku sudah lebih dulu duduk di baga. Di tangannya ada sebuah nampan plastik bunga – bunga, dengan empat gelas kopi hitam khas Sumba. Aroma khas kopi ini menyeruak lewat udara, seakan hendak menggoda rasa malas kami untuk bangun pagi, dan menggantikannya dengan segelas semangat.
Bagi kami, para penghuni rumah menara ini, ruang tamu adalah tiga buah baga yang terdapat di bagian depan rumah, yaitu sebelah kiri, tengah, dan bagian kanan. Baga bukan hanya tempat duduk berupa bangku panjang yang terbuat dari papan ataupun bambu yang menyatu dengan teras, namun baga adalah tempat favorit keluarga kami dan mayoritas masyarakat di kampung ini, untuk menikmati segelas kopi sambil bercengkerama. Di baga ini pula, kami bisa menghabiskan berjam – jam waktu lamanya untuk bercerita sambil makan sirih pinang, singkong rebus, jagung, dll.