Di kota kecil ini, ada sebuah taman yang sederhana. Sebenarnya, kurang tepat kalau dikatakan sebagai sebuah taman, karena di tempat ini hanya ada beberapa rumah payung yang beratap alang - alang. Untuk sekedar duduk - duduk santai, tersedia kursi panjang dari bambu yang melingkari rumah payung ini.Â
Satu, dua, tiga, empat, dan lima. Ya, ada lima rumah payung yang masih berdiri tegak. Sedangkan dua lainnya sudah rusak.Â
Hampir setiap sore, kira - kira pukul 16.30, aku mendatangi tempat itu. Letaknya agak jauh dari rumahku. Tetapi aku biasa berjalan kaki saja ke sana. Memang trayek angkutan tidak lewat ke sana. Satu - satunya moda transportasi yang bisa digunakan adalah sepeda motor.Â
Usiaku yang terbilang senja, menguras tenaga yang cukup banyak hanya untuk mencapai tempat itu. Berbekal air minum kemasan dan sepotong roti yang aku beli di kios Bu Ice, cukuplah menambah tenaga.Â
Aku mengambil posisi duduk di rumah payung nomor tiga. Setiap saat aku datang, rumah payung ini selalu kosong. Sedangkan, beberapa pengunjung lainnya memilih untuk bersantai di rumah payung yang lain. Selain nomor tiga.
Baguslah. Sejak pertama aku memang lebih suka duduk di sini. Sudut taman ini, mengarahkan pandanganku dengan bebas ke atap langit senja.Â
Senja bagiku, bukan sekedar warna kuning keemasan yang biasa saja. Senja bagiku bagaikan sebuah lukisan berjuta kenangan yang telah terlewati.Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H