Mohon tunggu...
Theresia sri rahayu
Theresia sri rahayu Mohon Tunggu... Guru - Bukan Guru Biasa

Menulis, menulis, dan menulislah

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Ibu yang Mengajariku Berbohong

23 Februari 2016   17:15 Diperbarui: 10 April 2017   02:00 254
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ibuku menceritakan hari – harinya saat aku memutuskan pergi dari rumah. Ibu memandang ke depan jalan raya. Banyak orang lalu lalang di sana. Namun, ibu tidak peduli. Ia tertawa dengan sangat kencang, tanpa merasa malu sedikitpun. Lalu, ia mengatakan bahwa tengkulak besar sudah mati diracun orang. Hidupnya menjadi lebih tenang setelah itu. Ibu memperbaiki rumah kami yang hampir roboh dan membeli perabotan – perabotan rumah baru setiap minggu untuk mengganti yang sudah diambil oleh tengkulak. Ibu mengatakan bahwa setiap bulan, selalu ada orang yang memberi uang dengan jumlah banyak padanya.

Hatiku terasa aneh. Sama anehnya dengan cerita yang ibu katakan padaku. Ada semacam luka yang menganga di dalam hatiku. Seperti luka lama yang tergores kembali. Rasa sakitnya membuat jantungku berdetak dengan sangat kencang dan terburu – buru. Nafasku tersengal, aku melihat lagi wajah ibuku. Ia tampak tenang sekarang. Aku harus meninggalkan ibuku sekarang. Aku tak ingin ibu melihat hatiku yang jahat. Walaupun aku yakin, ia tidak akan pernah melihatnya. Sama seperti saat ini, ia pun tidak bisa melihat kedatanganku, sekalipun dari tadi kami berbicara banyak.

Untuk pertama kalinya, aku meninggalkan ibu dengan hati yang terasa aneh. Rasanya ia menangis di dalam dadaku. Sepertinya kebencian ingin menyelimutinya. Lalu, aku pulang ke tempat baruku. Otakku berputar keras untuk mengatakan sesuatu kepada ibuku. Sebuah pernyataan yang mungkin selama ini aku kubur dalam – dalam di dalam hatiku sendiri.

Bahwa selama ini, aku bekerja sebagai sekretaris pribadi tengkulak besar. Dengan modal kecantikan, keanggunan, dan kecerdasan yang aku miliki, akhirnya ia mau menerimaku sebagai sekretarisnya. Sehingga setiap bulan, aku dengan leluasa mengirimkan uang dengan jumlah banyak untuk ibuku melalui orang kepercayaanku. Ketika kakakku yang menjadi istri kelima nya, mengetahui perbuatanku, aku memaksanya menutup mulut dengan menembakkan peluru yang tadinya aku siapkan untuk menghabisi tengkulak besar.

Setelah kematian kakakku, aku tak bisa membohongi ibuku lagi. Ia selalu menelponku dan menanyakan kabar kakakku. Aku sudah bosan dengan cerita kebohonganku yang mengatakan bahwa kakak pergi ke luar kota. Akhirnya, hatiku yang sudah berteman dengan kebencian, memerintahkan otakku dan terjadilah insiden kecelakaan itu, yang membuat ibu kehilangan penglihatannya. Dan aku harus membayar “kakak” baru sebagai penggantinya.

Setelah itu, hatiku berkonspirasi lagi dengan hati – hati yang lain. Sehingga aku kembali menemukan strategi untuk mengakhiri episode drama ini dengan sempurna. Aku merancang sebuah pertemuan bisnis untuk tengkulak besar di luar kota. Namun, di tengah perjalanan, aku menyisipkan sebuah kejutan istimewa. Esoknya, tersiar kabar di warta kota, tengkulak besar meregang nyawa karena keracunan gas di dalam mobilnya. Salah sendiri, dia menggodaku di dalam mobil. Ketika ada kesempatan, aku semprotkan gas berbahaya yang sengaja aku pesan. Aku bisa selamat karena gas itu bereaksi setelah sepuluh menit dalam kondisi mobil tertutup. Dan aku mengambil kesempatan dengan mengatakan hendak pergi buang air kecil. Supir tengkulak besar menjadi bagian dari rencanaku. Sehingga ia dapat selamat juga.

Namun, kali ini hatiku menjadi terlalu bodoh untuk memprediksi. Seisi kota mencariku setelah berita kematian menyebar luas di seantero kota selama beberapa pekan. Rupanya supir tengkulak dan hatinya mencoba mengambil alih kekuasaan. Ternyata ia adalah kekasih gelap kakakku yang menjadi istri kelima tengkulak besar. Ia mengetahui bahwa aku adalah pembunuh kekasihnya dan ia berniat membalaskan rasa sakit hatinya. Kemudian, hari – hariku menjadi hari – hari yang menentukan waktu hidupku.

Semuanya berjalan cepat dan menyeret leherku ke tiang gantungan yang sudah dipesan atas namaku. Kurang dari satu jam lagi aku kembali akan menemui hatiku yang jahat. Jantungku sudah mulai sangat pelan berdetak, dan otakku sudah menjadi sangat tumpul sejak para aparat menemukan persembunyianku di bawah jembatan yang dulu kami jadikan persembunyian bersama ayah, ibu, kakak, dan adikku. Pertemuanku dengan ibuku adalah pertemuan terakhir antara anak dan ibu yang sama – sama senang menonton drama dan hidup dalam drama. Tapi, ceritaku akan tetap berlanjut karena aku diam – diam telah membayar “aku” yang lain untuk ibuku. Sama halnya ketika aku membayar “kakak” untuknya.

Ilustrasi

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun