Mohon tunggu...
Theresia sri rahayu
Theresia sri rahayu Mohon Tunggu... Guru - Bukan Guru Biasa

Menulis, menulis, dan menulislah

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Anak-anak Rumah Menara

20 Februari 2016   16:46 Diperbarui: 20 Februari 2016   17:20 61
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

“Jadi, kapan tepatnya Ibu pindah ke Sumba ?” Bapak bertanya padaku. “Secepatnya, Bapak.” Jawabku pendek. Aku mengangkat gelas kopi di hadapanku. Meniup – niup uap panas dari kopi itu, kemudian meminumnya sedikit. Pahit ! Walaupun demikian, aku tetap menikmatinya. Entah kenapa, walaupun seorang perempuan, aku suka sekali minum kopi pahit. Apalagi kopi khas Sumba ini.
“Usahakan memang, supaya Ibu pindah tahun ini.”
“Iya, Bapak. Doakan saja.”

Suamiku melirik ke arahku. Pandangan matanya terlihat agak cemas. Tujuh tahun lalu, aku bertemu dengan Umbu. Laki – laki Sumba yang aku kenal dari seorang sahabat. Sebuah pertemuan singkat di kota kembang, menjadi saksi ketika akhirnya kami sepakat untuk saling mengikat janji setia, sehidup semati sebagai suami istri. Sebenarnya, ibuku merasa berat untuk merestui pernikahan kami. Karena persoalan jarak yang terlalu jauh. Belum lagi, jika nanti Umbu memintaku pindah ke Sumba.

Pagi ini kami duduk di baga. Masing – masing dengan segelas kopi di hadapannya. Dan beberapa pemikiran yang berbeda. Walaupun sama – sama hitam warna kopi ini, tapi aku merasa kopi yang ku minum rasanya paling pahit. Dan rasa pahit itu pula, yang menghadirkan kecemasan baru dalam hidupku. Ketika suamiku memilih mengikuti permintaan orang tuanya, untuk tinggal di Sumba, maka aku pun harus turut serta. Artinya, aku harus pindah. Meninggalkan pekerjaanku sebagai seorang pegawai pemerintah, dan meninggalkan keluargaku di Tanah Jawa.

Terbayang wajah tua ibuku, dan si bungsu anak laki – laki satu – satunya di rumah. Tiba – tiba, “Trrrrttttt …. Trrrrrrrttttt ….” Handphoneku bergetar. Aku menyimpan gelas kopi yang hampir kosong isinya. Sebuah pesan singkat,”Kak, di mana ? Mama sakit.”
Aku meraih gelas kopiku untuk yang kesekian kali. Langsung kuhabiskan isinya, dan tersisa ampas – ampas hitam di dasar gelas. Seketika, lidahku mencari – cari butiran – butiran gula yang mungkin ikut teraduk dari sendok kopi kami pagi ini. Dan aku berharap ada sedikit rasa manis yang tertinggal dari semua kepahitan ini.

Galutana, Feb16*)

Catatan : Beberapa istilah dalam Bahasa Daerah Anakalang, Sumba Tengah, NTT
Mete = begadang, biasanya saat ada kematian
Kadirung Api = menghangatkan diri di sekitar api
Tular = tungku api tradisional
Bemo = sebutan lain untuk angkot
Maika, madidung ta baga = ayo, duduk di baga

 

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun