“Dan militer sekarang berkuasa. Saya telah menjadi bagian yang membuat militer berkuasa sekarang. Lalu saya harus diam? Dan senang? Bukan begitu?” Nada kecewa dan menyesal mewarnai intonasi Nicholas Saputra, pemeran tokoh Soe Hok Gie dalam film “Gie”. Ia miris melihat demokrasi dibungkam sejak militer berkuasa: pers dibreidel dan kebebasan bersuara tak lagi ada. Ia “menyesal” menjadi bagian yang menumbangkan demokrasi terpimpin pada 1966. Sejarah menunjukkan, 32 tahun kemudian mahasiswa kembali menjatuhkan rezim penguasa.
Tahun ini, Indonesia kembali menggelar pesta demokrasi. Pemilu presiden (pilpres) telah memasuki masa kampanye terbuka sejak 4 Juni lalu. Dua capres-cawapres bersaing merebut hati dan suara rakyat. Banyak fakta dan opini beredar mewarnai kampanye pilpres. Setiap capres pernah diserang melalui media tentang kekurangan masing-masing. Capres nomor satu, santer dengan isu jejak rekam masa lalu, sementara capres nomor dua dipertanyakan tanggung jawabnya yang belum selesai dan mungkin karena penampilannya yang begitu sederhana, banyak orang meragukan kemampuannya.
Litbang Kompas menyatakan jumlah pemilih pemula sekitar 20 juta jiwa (11% dari total 186 juta jiwa pemilih). Sebagai satu dari jumlah tersebut, saya gamang apakah nanti akan merasakan apa yang dirasakan Gie: menyesal karena menjadi bagian yang mengijinkan tumbuhnya suatu kekuasaan yang justru tidak membuat bangsa ini lebih baik dari sebelumnya.
Penggagas gerakan Indonesia Mengajar yang belakangan menarik hati banyak orang muda, Anies Baswedan pernah menyatakan, kita tak sedang mencari pemimpin sempurna. Dalam perspektif saya pribadi, negeri ini butuh pemimpin yang mampu mendengarkan. Mengapa? Karena pemimpin yang “mendengarkan” bisa “mendengar” dengan baik apa yang diinginkan dan dibutuhkan rakyatnya. Terlebih, pemimpin yang mendengarkan akan mampu berdialog dengan mereka yang hanya punya medium suara. Golongan terdidik mampu mengkritik melalui tulisan, tapi masih banyak rakyat yang hanya bisa mengeluh secara langsung dan mereka perlu didengarkan. Kita harus memilih bukan hanya pemimpin yang pandai dan banyak bicara, tetapi pemimpin yang dengan legowo mau kita awasi kinerjanya. Pemimpin yang mau kita kritisi, mau mengaku salah kalau memang salah, dan berubah menjadi baik. Itu hanya bisa terjadi kalau pemimpin tersebut mampu mendengarkan. Sekali lagi, memang tidak ada orang sempurna. Oleh sebab itu, kita semua perlu memilih. Kita harus memberikan kepercayaan, dan kalau disalahgunakan kita harus mengambil kepercayaan itu kembali.
Seperti halnya pada masa itu Soe Hok Gie tidak diam (meskipun rezim baru tumbang setelah 29 tahun ia meninggal), kita harus berani terus bersuara. Saya percaya, pemimpin ke depan tahu belajar. Ia semestinya tidak membuat orang muda, khususnya mahasiswa, untuk kali kedua menduduki atap gedung DPR/MPR seperti pada Mei 1998. Sekarang sudah bukan zamannya, tetapi kalau diperlukan, kita tentunya berpikir ulang, mengapa tidak?***
Versi yang lebih singkat pernah dimuat di rubrik "Mahasiswa Bicara" harian Kompas, Senin (16/6/2014)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H