-- ?
Apakah ada yang lebih menyenangkan selain bersama dengan seseorang yang dapat kita ajak bicara layaknya kita dapat berbicara dengan diri sendiri?
Sesungguhnya ini pertanyaan yang sudah terjawab, pembuktiannya masa satu setengah tahun yang saya lalui bersama suami. Situasi pandemi dengan dampaknya; terhentinya kegiatan usaha suami, pola bekerja saya menjadi WFH, pembelajaran anak-anak yang kini menjadi jarak jauh berlangsung di rumah mempengaruhi emosional kami. Perkara kecil sangat mudah memicu perdebatan, urusan tetek-bengek sekolah menjadi pemicu perselisihan anak-anak kami, hingga anggaran belanja rumah tangga yang sangat ketat memaksa mengencangkan ikat pinggang.
Untunglah riuh-rendah konflik itu berlangsung hanya di awal masa pandemi. Makin ke mari, kami temukan selahnya. Semua perkara yang dialami harus dipercakapan dengan pasangan. Sudah jamak dari jaman pacaran kami berdiskusi, - berjam-jam, atau berdebat pun .Â
Berlanjut kala awal menikah, percakapan kami entah itu verbal atau non verbal tidak ada habisnya. Menyenggol kaki di kolong meja, bahu sebagai kode agar tidak diketahui orang lain. Saat suami di belakang kemudi sebagai ganti bahasa verbal, maka dia akan memencet jari jempol saya, tandanya dia sayang!Â
Rasanya seperti tidak ada batasan dan penghalang di antara kami berdua. Sebagai pasangan suami istri selama sepuluh tahun, kami adalah belahan jiwa terhadap satu sama lain. dan .
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H