RUU Profesi Psikologi, yang kemudian berganti nama menjadi RUU Praktik Psikologi dan terakhir berganti nama menjadi RUU PLP pada Mei 2002 telah disahkan. Melalui Rapat Paripurna Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI) pada Kamis (7/7), RUU tentang Pendidikan dan Layanan Psikologi disetujui menjadi Undang-Undang.
"Kami akan menanyakan kepada setiap fraksi, apakah Rancangan Undang-Undang tentang Pendidikan dan Layanan Psikologi dapat disetujui dan disahkan menjadi undang-undang," tanya Gobel kepada Anggota DPR RI yang kemudian menyatakan 'setuju' dan disambut ketukan palu sidang tanda disahkannya RUU PLP menjadi UU.
Salah satu tujuan dasar pembentukan RUU PLP adalah karena pengaturan tentang praktik psikologi, sehingga hal ini belum memberikan perlindungan dan kepastian hukum untuk melakukan praktik psikologi. Selain itu, dengan disahkan UU ini diharapkan dapat meningkatkan kualitas pendidikan dan layanan psikologi, daya saing, serta yang paling penting adalah kualitas SDM psikologi itu sendiri.Â
RUU ini juga membantu menata dan memberikan kepastian protes strata, dengan adanya penyelenggaraan pendidikan akademik maupun profesi bagi para psikolog akan berdampak pada layanan psikologi yang optimal dan berkualitas. Hal lain yang tidak kalah penting adalah RUU ini memberikan pengaturan dan kepastian terciptanya kerja sama antar perguruan tinggi dan organisasi profesi karena keduanya memiliki tanggung jawab terhadap mutu layanan profesi psikologi.
Meskipun UU ini memiliki tujuan yang dapat meningkatkan layanan psikologi, tetap saja akan menimbulkan potensi masalah. Dapat berpotensi terjadinya tumpang tindih peraturan akibat dari ketidakselarasan peraturan yang sudah ada sebelumnya. Hal ini akan mengakibatkan kebingungan tidak hanya bagi psikolog klinis, tetapi juga bagi pengguna layanan psikologi klinis yang sebelumnya telah tertata dan mengikuti perundangan rumpun kesehatan. Selanjutnya, terdapat implikasi perkembangan profesi psikologi bisa terjadi monopoli oleh induk organisasi profesi himpunan psikologi.
Saat ini, surat tanda registrasi (STR) diterbitkan oleh Konsil Tenaga Kesehatan (KTKI), sedangkan surat izin praktik psikologi (SILP) diterbitkan oleh pemerintah pusat dengan rekomendasi dari induk organisasi profesi himpunan psikologi. Hal ini dapat disalahgunakan oleh suatu organisasi karena memberikan izin praktik profesi berkaitan dengan manusia merupakan di luar kelaziman.
Terakhir, dampak dari pengesahan RUU ini adalah psikolog-psikolog yang berpraktik psikologi klinis tetapi tidak bekerja di fasilitas pelayanan kesehatan akan diatur oleh RUU PLP ini. Hal ini dapat menimbulkan kebingungan dan tumpang tindih karena akan berbenturan dengan wewenang dari induk organisasi profesi himpunan psikologi yang diciptakan oleh RUU ini.
Tentunya jika berbicara mengenai RUU PLP ini tidak akan terlepas dari politik. Terlihat bahwa terdapat kepentingan dalam pengesahan RUU ini, sehingga menimbulkan distorsi terhadap kebijakan yang dihasilkan. Distorsi kebijakan dalam rupa temuan masalah dalam RUU PLP ini bisa jadi merupakan akibat adanya kompromi politik. Hal ini dapat dilihat dari beberapa keganjilan dalam proses pembahasan RUU PLP. Psikolog klinis memberikan aspirasi untuk dikecualikan dari RUU PLP ini, tetapi beberapa pihak tertentu dianggap sebagai pembangkangan dan upaya memisahkan psikologi klinis dari rumpun keilmuan psikologi.Â
Setelah dikaji ulang dan IPK merasa masih terdapat pasal yang merugikan, pada akhirnya psikolog klinis dikecualikan dari pengaturan RUU PLP ini dan mengikuti peraturan perundang-undangan kesehatan. Pengkajian ulang ini, memberikan dampak yang baik bagi UU PLP ini karena para tenaga psikologi merasa dilindungi saat memberikan pelayanan maupun pasien yang menerima pelayanan tersebut.
Hal penting dalam pengesahan UU ini karena saat ini, media sosial dijadikan panggung bagi banyak orang, batas antara informasi yang bersifat penting dan pribadi menjadi tidak ada batasnya. Tidak jarang terdapat kasus bahwa tenaga kesehatan membocorkan masalah dan keluhan pasien, dan menjadikannya sebagai objek untuk dibagikan di media sosial. Tenaga kesehatan tersebut melakukan hal itu hanya demi mendapat perhatian dari banyak orang.
Maka dari itu, diharapkan dengan adanya UU PLP ini, pasien yang merasa dirugikan akibat informasinya yang bocor, dapat menuntut haknya.